"Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.[al-Hajj:11]
Imam Ibnu Katsir menyatakan,” Menurut Mujahid, Qatadah serta ‘ulama-‘ulama tafsir lainnya, bahwa yang dimaksud ‘ala harf, adalah ‘ala syakk (di atas keraguan).” Ayat ini menyindir orang-orang yang menyembah kepada Allah di atas keraguan, bukan di atas keyakinan hatinya.
Imam Qurthubiy, di dalam tafsir Qurthubiy, mengutip penafsiran Ibnu ‘Abbas menyatakan, ‘Ayat ini berhubungan dengan kisah berikut ini : “Sejumlah orang Arab mendatangi Rasulullah saw di Medinah, kemudian mereka masuk Islam. Jika setelah masuk Islam isteri mereka melahirkan anak laki-laki, dan ternak mereka berkembang biak, mereka menyatakan bahwa Islam adalah agama yang baik. Namun sebaliknya, jika mereka mendapati bahwa isterinya melahirkan anak perempuan, dan ternaknya tidak berkembang biak, mereka menyatakan bahwa Islam adalah agama sial (buruk). Kemudian mereka murtad dari Islam kembali.”
Ini adalah gambaran orang-orang yang menyembah kepada Allah karena manfaat-manfaat atau kepentingan-kepentingan duniawi. Jika mereka mendapatkan keuntungan duniawi, atau mendapatkan kebahagian-kebahagiaan bendawi, mereka akan tentram dan giat beribadah kepada Allah. Sebaliknya, tatkala mereka beribadah kepada Allah, kemudian mendapatkan berbagai macam fitnah, celaan, dan kerugian-kerugian harta benda, mereka segera berpaling dari Islam dan kembali kepada kekafiran.
Menurut Ali Ash-Shabuni dalam Tafsir Shafwatut Tafaasir, “Orang-orang semacam ini seperti pasukan yang tengah berada dalam kondisi kritis. Pasukan yang berada dalam kondisi kritis cenderung akan berbuat apapun untuk menyelamatkan dirinya. Seandainya mereka diperintahkan untuk murtad –asalkan itu bisa menyelamatkan dirinya—tentu mereka akan bergegas untuk kembali murtad”.
Seorang muslim wajib beribadah kepada Allah swt dengan hati yang tunduk dan ikhlash. Keikhlasan dan ketundukan merupakan benteng yang sangat kokoh yang bisa menjaga keistiqamahan seseorang dalam beribadah kepada Allah. Seseorang yang berhati bersih dan ikhlash akan selalu beribadah kepada Allah dalam kondisik apapun. Dalam kondisi senang ia tetap ingat kepada Allah swt. Dalam kondisi kesusahan, dirinya semakin tunduk dan mendekatkan diri kepada Allah.
Tatkala ia diperintahkan untuk berjihad di jalan Allah swt, dirinya akan segera terpanggil dan memenuhi seruan Tuhannya. Ia rela mengorbankan harta dan jiwanya di jalan Allah swt. Ia rela menanggung hinaan dan cobaan demi menjaga agama Allah swt.
Berbeda dengan orang yang beribadah kepada Allah tanpa landasan keikhlasan. Orang semacam ini tidak ubahnya dengan orang yang berada dalam keraguan. Benteng keimanannya sangat rapuh dan ringkih. Ia mudah sekali berpaling dari Allah swt, hanya karena iming-iming, godaan dan rayuan dunia. Dirinya sangat mudah terjangkit penyakit nifaq. Tatkala ia mendapatkan keuntungan ia ingat kepada Allah swt. Namun, tatkala ia mendapatkan kesusahan akibat memikul taklif dari Allah swt, ia segera mencampakkan agama Allah dan surut kembali ke belakang.
Pada dasarnya, orang-orang semacam ini gemar mengubah-ubah hukum-hukum Allah swt. Yang halal berubah menjadi haram, sedangkan yang haram menjadi halal. Hukum Allah dipaksa tunduk di bawah kepentingan dan hawa nafsu mereka. Di tangan mereka, ajaran Islam menjadi olok-olok dan bahan permainan. Bahkan mereka tidak segan-segan berkomplot dengan orang-orang kafir untuk menyerang dan membunuh kaum muslim hanya untuk kepentingan-kepentingan sesaat mereka.
Wahai, betapa banyak para penguasa kaum muslim yang tega berkhianat dan bersekongkol dengan orang-orang kafir untuk memusuhi Islam dan kaum muslim sendiri. Kebanyakan mereka adalah orang-orang yang telah terjangkit penyakit nifaq dan takut mati. Mereka lebih takut kepada orang-orang kafir dan kepentingan-kepentingannya daripada takut kepada Allah swt. Padahal, bukankah Allah swt yang seharusnya ditakuti? Bukankah Allah semata pemilik surga dan neraka, pahala dan siksa, rahmat, karunia, bahkan bumi dan seisinya? Lantas, mengapa kita lebih takut kepada manusia –yang sangat lemah—daripada Maha Rahman Yang Gagah Perkasa?