Tatkala Allah swt menawarkan amanah kepada langit, bumi dan gunung, ketiganya enggan untuk memikulnya. Namun, manusia memberanikan dirinya untuk memikul amanah tersebut. Padahal, konsekuensi dari amanah tersebut sangatlah berat. Amanah itu adalah hidup sejalan dengan tuntunan Allah swt, al-Quran. Saking beratnya, gunung akan hancur berkeping-keping karena takut atas konsekuensinya. Allah swt berfirman, artinya:
“Kalau sekiranya Kami menurunkan al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepadaAllah swt. Perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.”[al-Hasyr:21]
Imam Baidlawiy, sebagaimana dikutip oleh Ali Ash-shabuni, menafsirkan ayat ini sebagai berikut:´”Seandainya Kami (Allah) menciptakan akal dan perasaan pada gunung sebagaimana yang telah Kami ciptakan pada diri manusia, kemudian Kami turunkan Al-Quran di atasnya, dengan konsekuensi pahala dan siksa, sungguh ia akan tunduk, patuh dan hancur berkeping-keping karena takut kepada Allah swt. Ayat ini merupakan gambaran betapa besarnya kehebatan dan pengaruh al-Quran. Seandainya gunung yang kuat dan kokoh itu diseru dengan Al-Quran, sungguh kamu akan menyaksikannya tunduk dan takut kepada Allah swt. Maksud ayat ini adalah, celaan terhadap manusia disebabkan tidak tunduk ketika dibacakan al-Quran kepadanya. Bahkan, mereka menolak keajaiban-keajaiban dan keagungan-keagungan Al-Quran…”[Hasyiiyah Zadaah ‘Ala al-Baidlawiy, Juz III/479]
Dalam kitab Bahrul Muhiith disebutkan bahwa, maksud ayat ini adalah celaan kepada manusia yang telah keras hatinya, dan tidak terpengaruh hatinya dengan al-Quran yang seandainya diturunkan di atas sebuah gunung, niscaya gunung itu akan tunduk dan terpecah belah karena takut kepada Allah swt. Jika gunung yang tegak dan kokoh saja tunduk dan patuh kepada al-Quran tentu manusia harus lebih tunduk kepada al-Quran. Akan tetapi, kebanyakan manusia tidak terpengaruh dan tunduk di hadapan al-Quran.[Tafsiir Bahrul Muhiith, juz.8/251]
Lantas, apakah kita sudah tunduk dan patuh kepada al-Quran dan kandungan isinya? Apakah ketika dibacakan al-Quran, kita sudah menundukkan diri, merenungi isinya, kemudian berusaha mengamalkannya? Apakah justru kita acuh, mengingkari, bahkan berusaha mengganti hukum-hukum yang terkandung di dalam al-Quran? Bukankah Allah swt telah berfirman:
“Apabila dibacakan al-Quran (kepadamu), maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.”[al-A’raaf:204]
“Apakah mereka tidak memperhatikan al-Quran ataukah hati mereka terkunci.”[Mohammad:24]
Tidak hanya itu saja, Allah swt telah menjanjikan bagi siapa saja yang membaca al-Quran dengan pahala yang sangat besar. Allah swt berfirman:
“Sesungguhnya orang-orangyang selalu membaca Kitabullah dan mendirikan sholat serta menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka, baik secara diam-diam maupun secara terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tiada akan merugi.”[al-Fathir:29]
Rasulullah saw bersabda:
“Orang yang mahir membaca al-Quran adalah beserta malaikat-malaikat yang suci dan mulia, sedangkan orang yang membaca al-Quran kurang fasih karena lidahnya berat dan sulit membetulkannya maka bagi akan mendapat dua pahala.”[HR.Muslim]
“Sebaik-baik orang di antara kamu adalah orang yang mempelajari al-Quran dan mengajarkannya.”[HR. Bukhari]
Lantas, atas dasar apa kita tidak serius mempelajari al-Quran, memahaminya, membacanya, dan mengamalkan kandungan isinya. Bagaimana kita bisa hidup sesuai dengan tuntunan al-Quran, jika kita tidak mempelajari dan memahami al-Quran? Selain itu, bagaimana kita bisa memikul amanah yang telah dibebankan Allah kepada kita, sekiranya kita tidak berusaha dengan serius mempelajari kandungan isi al-Quran.
Sayangnya, kebanyakan kaum muslim sekarang ini telah enggan, bahkan acuh terhadap amanahnya. Tidak sedikit diantara mereka yang mengibarkan peperangan terhadap al-Quranu al-Kariim. Mereka mencoba menakwilkan dan mengubah-ubah isi al-Quran yang telah jelas maknanya. Mereka berusaha menundukkan al-Quran agar sesuai dengan keinginan-keinginan mereka. Tak henti-hentinya mereka mendiskreditkan hukum-hukum agung yang lahir dari al-Quran al-Karim. Mereka juga melecehkan al-Quran al-Karim sebagai makhluk sejarah yang telah ketinggalan zaman. Mereka lebih mencintai paham demokrasi, HAM, sekulerisme dari barat dari pada al-Quran al-Kariim yang diwahyukan kepada Mohammad saw. Padahal, demokrasi adalah ideologi pra sejarah (sebelum masehi) yang jelas-jelas bertentangan dengan fitrah manusia. Demikian juga HAM. Ia adalah alat politik orang kafir untuk menyebarkan ajaran kebebasan yang sangat rendah, bahkan lebih rendah daripada binatang. Anehnya, sebagian besar kaum muslim masih saja cinta dan tertipu oleh propaganda-propaganda busuk mereka.
Perhatikan nasehat dari Imam Ibnu Taimiyyah:
“Barangsiapa tidak mau membaca al-Quran berarti ia mengacuhkannya dan barangsiapa membaca al-Quran namun tidak menghayati maknanya, maka berarti ia juga mengacuhkannya. Barangsiapa yang membaca al-Quran dan telah menghayati maknanya akan tetapi ia tidak mau mengamalkan isinya, maka ia pun berarti mengacuhkannya”. Selanjutnya Imam Ibnu Taimiyyah menyitir sebuah ayat:
“Berkatalah Rasul: “Ya Tuhanku! Sesungguhnya kaumku menjadikan al-Quran ini suatu yang diacuhkan.”[al-Furqan:30]
Realitas telah menunjukkan kepada kita, betapa banyak orang yang mahir membaca dan memahami al-Quran, namun mereka tidak pernah mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan tidak sedikit pula yang tidak bisa membaca al-Quran. Jika kondisi sebagian besar kaum muslim masih seperti ini, tentu, mereka tidak akan peduli terhadap amanah Allah yang telah diberikan kepada mereka. Padahal, konsekuensi dari amanah ini sangatlah berat. Siapa saja yang tidak konsisten dan acuh terhadap al-Quran dan isinya, kelak akan mendapatkan siksa yang sangat pedih. Namun, siapa saja yang mencintai al-Quran dengan cara suka membacanya, memahaminya, dan melaksanakannya, akan mendapatkan balasan yang berlipat ganda dari Allah swt.