Pada dasarnya al-Quran adalah manhajul hayah bagi kaum muslim. Pedoman hidup yang menjelaskan seluruh aspek kehidupan, sekaligus sebagai pemisah antara kebenaran dengan kebatilan. Atas dasar itu, setiap muslim diperintahkan untuk selalu berjalan sesuai dengan al-Quran. Siapa saja yang berjalan sesuai dengan al-Quran tentu mereka akan mendapatkan petunjuk, penjelas, sekaligus akan diberi “furqan” (kemampuan untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah).
Bila semesta pembicaraan ini diperluas pada konteks negara dan masyarakat, kita dapat menyimpulkan bahwa, masyarakat dan negara manapun akan mendapatkan petunjuk, penjelas dan furqan bila mereka mau mengadopsi dan hidup sejalan dengan al-Quran. Sebaliknya, jika sebuah negara dan masyarakatnya jauh dari tuntunan al-Quran maka mereka tidak akan pernah mendapatkan petunjuk, penjelas dan furqan. Padahal, siapa saja yang mendapatkan petunjuk dari Allah swt, maka mereka akan dikaruniai keberkahan, kemudahan, dan juga kesejahteraan hidup.
Namun demikian, Al-Quran hanya akan tinggal huruf yang tertera di atas kertas belaka dan tidak pernah menjadi petunjuk bagi umat manusia, jika ia tidak dibaca, dipelajari, dipahami maknanya dan diamalkan dalam realitas kehidupan.
Benar, seseorang tidak akan mungkin bisa menangkap makna-makna yang terkandung di dalam al-Quran bila dirinya tidak atau belum mampu membaca al-Quran. Sebab, bagaimana mungkin ia bisa memahami makna-makna yang terkandung di dalam al-Quran, sedangkan membacanya saja tidak mampu?
Seseorang yang sudah bisa membaca al-Quran namun tidak memahami arti bacaannya, dirinya juga tidak mungkin bisa menangkap isi al-Quran. Orang yang bisa membaca dan memahami makna al-Quran juga tidak akan pernah mendapatkan keberkahan dan petunjuk, jika ia tidak mau mengamalkan kandungannya.
Untuk itu, aktivitas membaca, mempelajari, memahami maknanya serta mengamalkan kandungan makna al-Quran merupakan sebuah keharusan bagi setiap orang yang ingin mendapatkan petunjuk, penjelas, dan furqan.