1. Definisi hadits dhaif
Definisi Dhaif menurut bahasa adalah lawan dari kuat.
Dhaif ada dua macam yaitu lahiriyah dam maknawiyah. Sedangkan yang dimaksud disini adalah dhaif maknawiyah.
Hadits dhaif menurut istilah adalah hadits yang di dalamnya tidak didapati syarat hadits dan tidak pula didapati syarah hadits hasan. Karena syarat diterimanya suatu hadits sangat banyak sekali, sedangkan lemahnya hadits terletak pada hilngnya salah satu syarat tersebut atau bahkan lebih, maka atas dasar ini hadits dhaif terbagi menjadi beberapa macam, seperti Syadz, Mudhtlharib, Mu’allal, Munqathi’Mu’dhal, dll.
Hadits-hadits dhaif banyak terdapat pada sebagian karya berikut ini:
1. Ketiga Mu’jam At –thabarani – Al-kabir, Al-Awsath, As-Shaghir.
2. Kitab Al-Afrad, karya Ad-Daruquthni.
3. Kumpulan karya Al-Khatib Al-Baghdadi
4. Kitab Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiya’ karya Abu Nu’aim Al-Ashbahani.
2.Klasifikasi hadits dhaif
A. Macam-macam hadits dhaif berdasarkaan kecacatan rawinya
1) Hadits maudhu’ (silahkan di klik untuk penjelasanya)
2) Hadits matruk (silahkan di klik untuk penjelasanya)
3) Hadits munkar dan ma’ruf (silahkan di klik untuk penjelasanya)
4) Hadits mu’allal (silahkan di klik untuk penjelasanya)
5) Hadits mudraj (silahkan di klik untuk penjelasanya)
6) Hadits maqlub (silahkan di klik untuk penjelasanya)
7) Hadits mudltharrib (silahkan di klik untuk penjelasanya)
8) Hadits muharraf (silahkan di klik untuk penjelasanya)
9) Hadits mushahhaf (silahkan di klik untuk penjelasanya)
10) Haditsmubham (silahkan di klik untuk penjelasanya)
11) Hadits majhul (silahkan di klik untuk penjelasanya)
12) Haditssyadz dan mahfudh (silahkan di klik untuk penjelasanya)
13) Haditsmukhtalith (silahkan di klik untuk penjelasanya)
B. Macam-macam hadits dhaiif berdasarkan gugurnya rawi
1) Hadits mu’allaq (silahkan di klik untuk penjelasanya)
3) Hadits mudallas (silahkan di klik untuk penjelasanya)
4) Hadits munqathi’ (silahkan di klik untuk penjelasanya)
5) Hadits mu’dhal (silahkan di klik untuk penjelasanya)
C. Macam-macam hadits dhaif berdasarkan sifat matannya
1) Haditd mauquf (silahkan di klik untuk penjelasanya)
2) Hadits maqthu’ (silahkan di klik untuk penjelasanya)
3. Berhujjah dengan hadits dhaif
Para ulama sepakat melarang meriwayatkan hadits dhaif yang maudhu’ tanpa menyebutkan kemaudhu’annya.
Adapun kalau hadits dhaif itu bukan hadits maudhu’ maka diperselisihkan tentang boleh atau tidaknya diriwayatkan untuk berhujjah.dalam hal ini ada 2 pendapat:
Pertama: Melarang secara mutlak, meriwayatkan segala macam hadits dhaif baik untuk menetapkan hukum maupun untuk member sugesti amalan utama. Pendapatini dipertahankan oleh Abu Bakar Ibnu Al-‘Araby.
Kedua: Membolehkan, kendatipun dengan melepaskan sanadnya dan tanpa menerangkan sebab-sebab kelemahannya, untuk member sugesti, menerangkan keutamaan amal dan cerita-cerita bukan untuk menetapkan hukum-hukum syari’at,dan bukan untuk menetapkan aqidah-aqidah.
Ibnu Hajar Al-‘Asqalany termasuk ulama ahli hadits yang membolehkan berhujjah dengan hadits dhaif, untuk fadla’ilul-‘amal, dengan memberikan 3 syarat:
1. Hadits dhaif itu tidak keterlaluan.
2. Dasar ‘amal yang ditunjukkan hadits dhaif itu, masih dibawah dasar yang dibenarkan oleh hadits yang dapat diamalkan (shahih dan hasan).
3. Dalam mengamalkan itu tidak mengiktikadkan bahwa hadits tersebut benar-benar bersumber kepada Nabi. Tetapi tujuan mengamalkannya hanya semata-mata untuk ikhtiyat(hati-hati)
4. Meriwayatkan hadits dhaif tanpa menyebutkan sanadnya.
Para ulama melarang menyampaikan hadits dhaif tanpa menjelaskan sanadnya. Adapun kalau menyertakan sanadnya mereka tidak mengingkarinya.
Imam An-Nawawy berpendapat:”apabila kita hendak menukilkan hadits dhaif tanpa menyebutkan snadnya, hendaknya jangan memakai shighat jazm, seperti qala, fa’ala, dan amara Rasulullahi kadza-wakadza. Akan tetapi hendaklah memakai shighat tamrid, seperti: ruwiya ‘an, hukiya ‘an Rasulillah annahu qala, annahu dzakara dan lain sebagainya.”
Apabila mengemukaan hadits dhaif hendaknya mengatakan “ini adalah hadits dhaif sanadnya”,karena ada kemungkinan bahwa hadits yang dhaif sanadnya itu mempunyai sanad lain yany lebih shahih. Kecuali jika dalam menetapkan kedhaifan matan suatu hadits itu karena ikut pendapat para hafidz yang telah menelitinya dengan seksama.
Adapun jika penelitian itu tidak berhasil menemukan sanad lain yang lebih shahih, tiadalah berhalangan menetapkan kedhaifan suatu hadits secara mutlak.