Upaya Menjaga Kemurnian Islam,
Menyoal Tahdzir dan Norma-Normanya
Oleh Abu Abdirrahman Abdullah Zaen
-hafidzahullah-
-hafidzahullah-
MUQODDIMAH
Empat belas abad sudah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan kita umat Islam. Semakin hari kemurnian ‘ajaran Islam’ semakin keruh akibat tercemar ‘benda-benda asing” (baca: bid’ah dkk.). Ibarat suatu aliran sungai yang telah ribuan kilometer meninggalkan mata airnya; berubah menjadi amat keruh karena telah bercampur dengan sampah-sampah yang dicampakkan ke dalamnya oleh oknum-oknum yang kurang bertanggung jawab.
Jauh-jauh hari, fenomena ini telah disitir oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam,
« فإنه لا يأتي عليكم يوم أو زمان إلا والذي بعده شر منه حتى تلقوا ربكم »
“Tidaklah datang kepada kalian suatu hari atau suatu zaman melainkan sesudahnya lebih buruk dari sebelumnya, hingga kalian berjumpa dengan Rabb kalian.” [1]
Maka, sudah merupakan suatu hal yang lazim, jika kita kaum muslimin dituntut untuk berusaha memurnikan kembali ‘ajaran agama kita’, dan membersihkannya dari noda-noda yang telah melekat lama di tubuhnya. Inilah yang diistilahkan oleh sebagian ulama dengan upaya tashfiyah (memurnikan).
Sebelum menyibukkan diri dengan mentarbiyah (mendidik) umat, kita dituntut untuk terlebih dahulu mentashfiyah ajaran yang di atasnya kita akan mendidik umat ini. Jadi, metode yang tepat adalah tashfiyah dulu baru tarbiyah.[2]
Di antara upaya yang dilakukan oleh para ulama untuk meraih kembali beningnya ajaran Islam; mempraktekkan metode tahdzir.
DEFINISI TAHDZIR
Tahdzir adalah: memperingatkan umat dari kesalahan individu atau kelompok dan membantah kesalahan tersebut; dalam rangka menasehati mereka dan mencegah agar umat tidak terjerumus ke dalam kesalahan serupa.
DALIL DISYARI’ATKANNYA TAHDZIR
Banyak sekali dalil-dalil -baik dari al-Qur’an maupun sunnah- yang menunjukkan akan disyari’atkannya tahdzir, jika dilakukan sesuai dengan norma-norma yang digariskan syari’at.
Di antaranya adalah firman Allah ta’ala,
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS. Ali-Imran[3]: 104)
Ayat di atas menjelaskan akan disyariatkannya amar ma’ruf nahi munkar, dan para ulama telah menjelaskan bahwa tahdzir adalah merupakan salah satu bentuk amar ma’ruf nahi munkar.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan, “Kalaupun dia (ahlul bid’ah tersebut) tidak berhak atau tidak memungkinkan untuk dihukum, maka kita harus menjelaskan bid’ahnya tersebut dan mentahdzir (umat) darinya, sesungguhnya hal ini termasuk bentuk amar ma’ruf dan nahi munkar yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[3]
Hampir sama dengan keterangan Ibnu Taimiyah di atas; penjelasan yang dibawakan oleh Imam al-Haramain al-Juwaini rahimahullah didalam kitabnya al-Kafiah fi al-Jadal.[4]
Di antara dalil disyari’atkannya tahdzir adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
« يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله؛ ينفون عنه تحريف الغالين, وانتحال المبطلين, وتأويل الجاهلين »
“Agama ini diemban di setiap zaman oleh para ulama; yang menyisihkan penyimpangan golongan yang ekstrim, jalan orang-orang batil dan ta’wilnya orang-orang yang jahil.” [5]
Dan masih banyak dalil lain yang menunjukkan akan disyari’atkannya tahdzir.[6] Bahkan Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mempraktekkan metode tahdzir dalam kehidupannya; baik tahdzir terhadap individu maupun tahdzir dari suatu kelompok tertentu.
Di antara contoh praktek beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mentahdzir suatu individu; tatkala beliau mentahdzir dari ‘nenek moyang’ Khawarij: Abdullah bin Dzi al-Khuwaishirah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« إنه سيخرج من ضئضئي هذا قوم يقرؤون القرآن لا يجاوز حناجرهم يمرقون من الدين كما يمرق السهم من الرمية »
“Akan muncul dari keturunan orang ini; generasi yang rajin membaca al-Qur’an, namun bacaan mereka tidak melewati kerongkongan (tidak memahami apa yang mereka baca). Mereka keluar dari agama sebagaimana anak panah yang menancap di tubuh buruan lalu melesat keluar dari tubuhnya.”[7]
Adapun praktek beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mentahdzir dari suatu kelompok yang menyimpang, antara lain tatkala beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mentahdzir umat dari sekte Khawarij dalam sabdanya shallallahu ‘alaihi wa sallam,
« شر قتلى قتلوا تحت أديم السماء وخير قتيل من قتلوا كلاب أهل النار »
“Mereka adalah seburuk-buruk orang yang dibunuh di muka bumi. Dan sebaik-baik orang yang terbunuh adalah orang yang terbunuh ketika memerangi anjing-anjing penghuni neraka.”[8]
Juga tahdzir beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sekte Qodariyyah dalam sabdanya shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إن مجوس هذه الامة المكذبون بأقدار الله، إن مرضوا فلا تعودوهم، وان ماتوا فلا تشهدوهم
“Sesungguhnya umat Islam yang menyerupai orang-orang Majusi adalah mereka yang mendustakan takdir Allah. Janganlah kalian menjenguk mereka tatkala sakit dan janganlah bertakziyah tatkala mereka meninggal.”[9]
PRAKTEK ULAMA DALAM MENERAPKAN METODE TAHDZIR
Para ulama Ahlus Sunnah telah menjelaskan bahwa mentahdzir dari ahlul bid’ah dan membantah mereka merupakan amalan yang disyari’atkan di dalam agama Islam dalam rangka menjaga kemurnian agama Islam dan menasihati umat agar tidak terjerumus ke dalam kubang bid’ah tersebut.
Di antara keterangan tersebut, perkataan Imam al-Qarafi rahimahullah, “Hendaknya kerusakan dan aib ahlul bid’ah serta pengarang buku-buku yang menyesatkan dibeberkan kepada umat, dan dijelaskan bahwa mereka tidak berada di atas kebenaran; agar orang-orang yang lemah berhati-hati darinya sehingga tidak terjerumus ke dalamnya. Dan semampu mungkin umat dijauhkan dari kerusakan-kerusakan tersebut.”[10]
Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya, “Mana yang lebih engkau sukai; seseorang berpuasa, shalat dan i’tikaf atau mengkritik ahlul bid’ah? Beliau menjawab, “Kalau dia shalat, puasa dan i’tikaf maka manfaatnya hanya untuk dia sendiri, namun jika dia mengkritik ahlul bid’ah maka manfaatnya bagi kaum muslimin, dan ini lebih utama!.” [11]
Dan masih banyak perkataan-perkataan ulama Ahlus Sunnah yang senada.[12] Berikut ini akan kami bawakan beberapa contoh praktek nyata para ulama kita dari dulu sampai sekarang dalam menerapkan metode tahdzir -baik tahdzir terhadap individu maupun terhadap kelompok tertentu-; supaya kita paham betul bahwa metode tahdzir adalah metode yang ashli (orisinil) dan bukan metode bid’ah yang diada-adakan di zaman ini[13]:
1. Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma (wafat thn 73 H) ketika beliau mentahdzir dari sekte Qadariyah dengan perkataannya, “Beritahukanlah kepada mereka bahwa aku berlepas diri dari mereka, dan mereka berlepas diri dariku.”[14]
2. Imam al-Bukhari rahimahullah (w. 256 H) ketika beliau mentahdzir dari sekte Jahmiyyah dalam kitabnya: “Khalq Af’al al-’Ibad wa ar-Radd ‘ala al-Jahmiyyah wa Ashab at-Ta’thil.”[15]
3. Imam ad-Darimi rahimahullah (w. 280 H) ketika beliau mentahdzir dari Bisyr al-Mirrisi dalam kitabnya: “Naqdh Utsman ad-Darimi ‘ala al-Mirrisi al-Jahmi al-’Anid fima Iftara ‘ala Allah fi at-Tauhid.”[16]
4. Imam ad-Daruquthni rahimahullah (w. 385 H) ketika beliau mentahdzir dari ‘Amr bin ‘Ubaid -gembong sekte Mu’tazilah di zamannya- dalam kitabnya “Akhbar ‘Amr bin ‘Ubaid bin Bab al-Mu’tazili.”[17]
5. Imam Abu Nu’aim al-Ashbahani rahimahullah (w. 430 H) ketika beliau mentahdzir dari sekte Rafidhah dalam kitabnya “Al-Imamah wa ar-Radd ‘ala ar-Rafidhah.”[18]
6. Abu Hamid al-Ghazali rahimahullah (w. 505 H) ketika beliau mentahdzir dari sekte al-Bathiniyyah dalam kitabnya “Fadha’ih al-Bathiniyyah.”[19]
7. Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah (w. 620 H) ketika beliau mentahdzir dari Abu al-Wafa’ Ibnu ‘Aqil -salah seorang tokoh sekte Mu’tazilah- dalam kitabnya “Tahrim an-Nadzar fi Kutub al-Kalam.”[20]
8. Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah (w. 728 H) ketika beliau mentahdzir dari al-Bakri -salah seorang tokoh sufi di zaman itu- dalam kitabnya “Al-Istighatsah fi ar-Radd ‘ala al-Bakri.”[21]
9. Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah (w. 751 H) ketika beliau mentahdzir dari sekte Jahmiyyah dan golongan Mu’athilah dalam kitabnya “Ash-Shawa’iq al-Mursalah ‘ala al-Jahmiyyah wa al-Mu’athilah.”[22]
10. Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah (w. 974 H) ketika beliau mentahdzir dari sekte Rafidhah dan orang-orang Zindiq dalam kitabnya “Ash-Shawa’iq al-Muhriqah ‘ala Ahl ar-Rafdh wa adh-Dhalal wa az-Zandaqah.”[23]
11. Nuruddin bin Muhammad ar-Raniri rahimahullah (wafat. 1054 H) ketika mentahdzir dari Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani yang menyebarkan paham wihdatul wujud[24] di Indonesia. Bahkan beliau mengeluarkan fatwa kafirnya penganut paham tersebut.[25]
12. Imam Abdul Lathif bin Abdurrahman Alu Syaikh rahimahullah (w. 1292 H) ketika beliau mentahdzir dari Dawud bin Jarjis -salah satu pembesar sufi di zaman itu- dalam kitabnya “Minhaj at-Ta’sis wa at-Taqdis fi Kasyf Syubuhat Dawud bin Jarjis.”[26]
13. Syaikh Ahmad Khothib al-Minangkabawi rahimahullah (w. 1334 H) ketika beliau mentahdzir dari tarekat Naqsyabandiyyah dalam kitab-kitabnya: “Izh-har Zaghl al-Kadzibin fi Tasyabuhihim bi ash-Shodiqin“, “As-Saif al-Battar fi Mahq Kalimat Ba’dh al-Aghrar” dan “Tanbih al-Ghafil bi Suluk Thariqah al-Awa’il“[27]
14. Imam Abu al-Ma’ali al-Alusi rahimahullah (w. 1342 H) ketika beliau mentahdzir dari an-Nabhani -salah satu tokoh sufi di zaman itu- dalam kitabnya “Ghayah al-Amani fi ar-Radd ‘ala an-Nabhani.”[28]
15. Al-’Allamah Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah (w. 1376 H) ketika beliau mentahdzir dari Abdullah al-Qashimi -salah satu tokoh yang terpengaruh pemikiran sekuler di zaman itu- dalam kitabnya “Tanzih ad-Din wa Hamalatih wa Rijalih mimma Iftarah al-Qashimi fi Aghlalih.”[29]
16. Al-’Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah (w.1420 H) ketika beliau mentahdzir Muhammad Zahid al-Kautsari dan Abdul Fattah Abu Ghuddah -pembawa bendera sekte Jahmiyyah abad ini- ketika beliau menulis kata pengantar buku Syaikh Dr. Bakr Abu Zaid rahimahullah yang berjudul “Baro’ah Ahlu as-Sunnah min al-Waqi’ah fi ‘Ulama al-Ummah”[30]
17. Al-’Allamah al-Albani rahimahullah (w. 1420 H) ketika beliau mentahdzir dari Hasan Abdul Mannan dalam kitabnya “An-Nashihah bi at-Tahdzir min Takhrib Ibn Abdil Mannan li Kutub al-A’immah ar-Rajiihah wa Tadh’ifih li Mi’aat al-Ahadits ash-Shahihah.”[31]
18. Al-’Allamah Abdul Muhsin al-’Abbad hafidzahullah ketika beliau mentahdzir dari ar-Rifa’i dan al-Buthi -tokoh-tokoh yang membenci dakwah salafiyah- dalam kitabnya “Ar-Radd ‘ala ar-Rifa’i wa al-Buthi fi Kadzibihima ‘ala Ahl as-Sunnah wa Da’watihima Ila al-Bida’ wa adh-Dhalal.”[32], juga ketika beliau mentahdzir dari penamaan situs “Islam Today” dan tulisan DR. Salman al-’Audah yang berjudul “If’al wa La Haraj” dalam kitab beliau “Tanbihat fi al-hajj ‘ala al-Kitabah al-Musammah If’al wa La Haraj“
19. Syaikh Dr. Bakr Abu Zaid rahimahullah ketika beliau mentahdzir dari Muhammad bin Ali ash-Shabuni -salah satu tokoh sekte Asy’ariyyah abad ini- dalam kitabnya “At-Tahdzir min Mukhtasharat Muhammad bi Ali ash-Shabuni fi at-Tafsir.”[33]
20. Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafidzahullah ketika beliau mentahdzir dari Sayyid Quthb -salah satu tokoh pergerakan Islam yang mengkafirkan umat Islam secara keseluruhan[34] dan mencela beberapa sahabat Nabi[35] shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam kitabnya “Matha’in Sayyid Quthb fi Ashab Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam”[36]
21. Syaikh Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr hafidzahullah ketika beliau mentahdzir dari Hasan as-Segaf -salah satu tokoh sekte Jahmiyah abad ini- dalam kitabnya “Al-Qaul as-Sadid fi ar-Radd ‘ala Man Ankara Taqsim at-Tauhid.”[37]
19. Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali hafidzahullah ketika beliau mentahdzir dari kelompok-kelompok pergerakan abad ini yang memiliki penyimpangan-penyimpangan, dalam kitabnya “Al-Jama’at al-Islamiyyah fi Dhau’i al-Kitab wa as-Sunnah bi Fahm Salaf al-Ummah.”[38]
Dan masih ada puluhan bahkan mungkin ratusan contoh praktek nyata para ulama kita -tempo dulu maupun di zaman ini- dalam menerapkan metode tahdzir ini.
TUJUAN TAHDZIR
Sebagian orang mengira bahwa mentahdzir dari ahlul bid’ah tidak sejalan dengan sifat waro’. Mereka tidak sadar bahwa para ulama Ahlus Sunnah sekaliber Imam asy-Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Ibn al-Mubarak, Imam Sufyan ats-Tsauri dan yang lain, mereka juga tidak jemu-jemu untuk senantiasa mentahdzir umat dari ahlul bid’ah. Padahal siapa di antara kita yang tidak mengenal tingginya tingkat ketaqwaan dan derajat kewaro’an mereka?
Barangkali orang-orang tersebut belum mengetahui rahasia besar yang mendorong para ulama kita untuk menerapkan metode ini. Di antara hal-hal yang mendorong penerapan metode ini:
1. Besarnya ‘Panah beracun’ yang melesat dari bid’ah mengenai secara langsung ke dalam hati dan merusaknya. Jika hati seorang muslim telah rusak, maka dampaknya akan sangat besar terhadap lahiriyahnya.
2. Banyak di antara kaum muslimin yang tidak mengetahui akan keburukan ahlul bid’ah karena mereka menampakkan keshalihan di hadapan umat. Dan ini amat berbahaya bagi kaum muslimin, karena kenyataannya betapa banyak di antara mereka yang terjerumus ke dalam bid’ah gara-gara tertipu dengan ‘penampilan’ pengusungnya.
3. Sedikitnya para ulama yang mengetahui bahaya bid’ah dan perinciannya serta berani dan mampu untuk mengupas penyimpangan ahlul bid’ah dengan terperinci, membongkar syubhat-syubhat mereka dan memberantasnya. Maka budaya tahdzir ini perlu untuk dihidupkan dengan norma-norma yang digariskan oleh agama kita.[39]
Tahdzir adalah merupakan salah satu bentuk kasih sayang kepada orang yang keliru dan umat. Memang pahit rasanya bagaikan obat, namun jika kita bersabar untuk ‘menelannya’ niscaya, cepat ataupun lambat, kita akan merasakan manisnya ‘kesehatan’ yang kita dambakan.
Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa tatkala agama Islam mensyariatkan tahdzir, agama Islam juga telah menggariskan norma-norma tahdzir, agar tidak timbul penerapan tahdzir yang membabi buta yang tidak selaras dengan ajarannya.
NORMA-NORMA TAHDZIR
Tatkala agama Islam telah menjelaskan disyari’atkannya tahdzir, agama kita pun juga telah menjelaskan norma-normanya. Di antara norma-norma tersebut, apa yang dijelaskan oleh Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaily hafizhahullah
1. Pengingkaran itu harus dilakukan dengan penuh rasa ikhlas dan niat yang tulus semata-mata dalam rangka membela kebenaran.[40] Di antara konsekwensi ikhlas dalam masalah ini, adalah berharap agar orang yang terjatuh ke dalam kesalahan mendapatkan hidayah dan kembali kepada al-haq. Dan hendaknya pengingkaran tersebut juga diiringi dengan doa kepada Allah agar dia mendapat petunjuk-Nya. Apalagi jika ia termasuk golongan Ahlus Sunnah, ataupun kaum muslimin lainnya. Dahulu Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendoakan sebagian orang kafir agar mendapatkan petunjuk, bagaimana halnya jika orang yang bersalah berasal dari kaum muslimin yang bertauhid?! (Tentunya dia lebih berhak untuk didoakan).
2. Hendaknya bantahan tersebut dilakukan oleh seorang alim yang telah mumpuni ilmunya; mengetahui secara detail segala sudut pandang dalam materi bantahan, entah yang berkaitan dengan dalil-dalil syari’at yang menjelaskannya serta keterangan para ulama, maupun tingkat kesalahan lawan, serta sumber munculnya syubhat dalam dirinya, plus mengetahui keterangan-keterangan para ulama yang membantah syubhat tersebut.
Hendaklah orang yang membantah juga memiliki kriteria: kemampuan untuk mengemukakan dalil-dalil yang kuat tatkala menerangkan kebenaran dan mematahkan syubhat. Memiliki ungkapan-ungkapan yang cermat, agar tidak dipahami dari perkataannya kesimpulan yang tidak sesuai dengan apa yang dia inginkan. Atau bisa juga tahdzir itu dilakukan oleh thalibul ‘ilm yang menukil perkataan para ulama, dan dia cermat dalam menukil serta memahami apa yang ia nukil. Jika tidak memenuhi kriteria-kriteria di atas niscaya yang akan timbul adalah kerusakan yang besar.
3. Hendaklah tatkala membantah, ia memperhatikan: perbedaan tingkat kesalahan, perbedaan kedudukan orang yang bersalah baik dalam bidang keagamaan maupun sosial, juga memperhatikan perbedaan motivasi pelanggaran; apakah karena tidak tahu, atau hawa nafsu dan keinginan untuk berbuat bid’ah, atau mungkin cara penyampaiannya yang keliru dan salah ucap, atau karena terpengaruh dengan seorang guru dan lingkungan masyarakatnya, atau karena ta’wil, atau karena tujuan-tujuan lain di saat ia melakukan pelanggaran syari’at. Barang siapa yang tidak mencermati atau memperhatikan perbedaan-perbedaan ini, niscaya ia akan terjerumus ke dalam sikap ghuluw (berlebih-lebihan) atau sebaliknya (kelalaian/penyepelean), yang mana ini semua akan berakibat tidak bergunanya perkataan dia atau paling tidak manfaatnya akan menjadi kecil.
4. Hendaklah ia senantiasa berusaha mewujudkan maslahat yang disyariatkan dari bantahan tersebut. Jika bantahan tersebut justru mengakibatkan kerusakan yang lebih besar dibanding dengan kesalahan yang hendak dibantah, maka tidak disyariatkan untuk membantah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan (suatu kaedah penting), “Tidak dibenarkan menghindari kerusakan kecil dengan melakukan kerusakan yang lebih besar, juga tidak dibenarkan mencegah kerugian yang ringan dengan melakukan kerugian yang lebih berat. Karena syariat Islam datang dengan tujuan merealisasikan maslahat dan menyempurnakannya, juga melenyapkan kerusakan dan menguranginya sedapat mungkin. Pendek kata, jika tidak mungkin untuk memadukan antara dua kebaikan, maka syariat Islam (mengajarkan untuk) memilih yang terbaik. Begitu pula halnya dengan dua kerusakan, jika tidak dapat dihindari kedua-duanya, maka kerusakan terbesarlah yang harus dihindari”. (Al-Masa’il al-Mardiniyah, hal. 63-64).
5. Hendaknya bantahan disesuaikan dengan tingkat tersebarnya kesalahan tersebut. Sehingga jika suatu kesalahan hanya muncul di suatu daerah atau sekelompok masyarakat, maka tidak layak bantahannya disebarluaskan ke daerah lain atau kelompok masyarakat lain yang belum mendengar kesalahan tersebut, baik penyebarluasan bantahan itu dengan menerbitkan buku, kaset maupun dengan menggunakan media-media lain. Karena menyebarluaskan suatu bantahan atas kesalahan, berarti secara tidak langsung juga menyebarluaskan pula kesalahan tersebut.
Bisa jadi ada orang yang membaca atau mendengar suatu bantahan, akan tetapi syubhat-syubhat (kesalahan itu) masih membayangi hati dan pikirannya, juga tidak merasa puas dengan bantahannya. Jadi, menghindarkan masyarakat dari mendengarkan kebatilan, adalah lebih baik daripada memberikan kesempatan kepada mereka untuk mendengarkan kebatilan lalu memperdengarkan kepada mereka bantahannya. Para salaf senantiasa mempertimbangkan norma ini dalam bantahan-bantahan mereka. Banyak sekali kita dapatkan kitab-kitab mereka yang bertemakan bantahan, tapi di dalamnya mereka hanya menyebutkan dalil-dalil yang menjelaskan al-haq, yang merupakan kebalikan dari kesalahan tersebut, tanpa meyebutkan kesalahan itu. Tentu ini membuktikan akan tingkat pemahaman mereka yang belum dicapai oleh sebagian orang yang hidup di zaman ini.
Pembahasan yang baru saja diutarakan -yang berkaitan dengan menyebarkan bantahan di daerah yang belum terjangkiti kesalahan-, sama halnya dengan pembahasan tentang menyebarkan bantahan di tengah-tengah sekelompok orang yang tidak mengetahui kesalahan itu, walaupun ia tinggal di daerah yang sama. Maka tidak seyogyanya menyebarkan bantahan -baik melalui buku maupun kaset- di tengah-tengah masyarakat yang tidak mengetahui atau mendengar adanya kesalahan tersebut.
Betapa banyak orang awam yang terfitnah dan terjatuh ke kubang keraguan terhadap dasar-dasar agama, akibat membaca buku-buku bantahan yang tidak dapat dipahami oleh akal pikiran mereka.
6. Hukum membantah pelaku suatu kesalahan adalah fardhu kifayah, sehingga bila telah ada seorang ulama yang melaksanakannya, tujuan syariat telah terealisasi dengan bantahan dan peringatan darinya. Maka tanggung jawab (kewajiban) para ulama yang lain telah gugur. Hal ini telah dijelaskan oleh para ulama dalam pembahasan hukum fardhu kifayah.[41]
SEBUT NAMA ATAU TIDAK KETIKA MENTAHDZIR?[42]
Di antara faktor yang mendorong seorang da’i untuk terang-terangn menyebutkan nama kelompok atau individu yang ditahdzir, adalah jika umat yang dihadapinya tidak mengerti dan tidak paham apa dan siapa yang dimaksud, jika sang da’i tidak terang-terangan.
Namun jika umat telah mengerti siapa sebenarnya yang dimaksud dalam bantahan tersebut, dan justru pengidentifikasian terang-terangan oknum yang ditahdzir akan berakibat umat tidak menerima al-haq yang disampaikan, maka saat itu cukup bagi seorang da’i menyampaikan jenis kesalahan kelompok atau individu yang dimaksud beserta bantahannya, tanpa terang-terangan menyebutkan nama kelompok atau individu tersebut.
Dan memang hukum asal cara mentahdzir adalah dengan tidak menyebutkan terang-terangan nama yang ditahdzir. Sebagaimana praktek Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika akan menjelaskan kesalahan sebagian orang, dengan perkataan beliau,
ما يال أقوامٍ قالوا كذا وكذا
“Mengapa ada sebagian orang berkata ini dan itu?”[43]
Ini adalah hukum asalnya, namun jika dibutuhkan untuk terang-terangan menyebutkan nama yang ditahdzir, itupun tidak mengapa, sebagaimana praktek Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أما أبو جهمٍ فلا يضع عصاه عن عاتقه، واما معاوية فصعلوك لا مال له
“Adapun Abu Jahm maka dia tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya (suka memukul) sedangkan Mu’awiyah maka dia adalah orang yang miskin yang tidak punya harta.”[44]
Syaikh al-‘Allamah Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan: “Hendaknya yang menjadi tujuan adalah menjelaskan kebenaran dan kebathilan, tanpa perlu menyebutkan nama orang yang dinukil, kecuali dalam kondisi darurat yang mengharuskan penyebutan orang tersebut.”[45]
Syaikh al-‘Allamah Muhammad al-‘Utsaimin rahimahullah memberikan ketrangan serupa: “Menyebutkan individu hukumnya boleh dalam kondisi darurat, jika tidak, maka yang penting adalah membantah perkataan yang batil (bukan pelakunya –pen).”[46]
Syaikh Abdul Malik Romadhoni hafidzahullah dalam salah satu ceramahnya menegaskan bahwa metode inilah yang diterapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam kebanyakan sikapnya: “Tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal itu [yakni dalam hal menjelaskan kesalahan orang lain] beliau mencukupkan diri dengan penjelasan secara global tanpa merincikan (pelakunya), ini hukum asalnya. Sebagaimana yang disebutkan di dalam Shahih Muslim bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mengapa sebagian orang melakukan ini dan itu.” Ini (sudah cukup) jika tujuan telah tercapai, namun jika (tujuan untuk memperingati seseorang tidak tercapai dengan peringatan secara global) maka perlu disebutkan secara terang-terangan siapa pelakunya. Inilah hukum asal yang selalu diterapkan.”
Engkau pun juga bisa mengatakan, “Mengapa fulan atau sebagian orang berkata ini dan itu”, tanpa menyebutkan namanya. Jika orang yang bersalah itu telah paham dan kembali (kepada al-haq), maka ini sudah cukup bagimu dan bersyukurlah kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala.”[47]
Syaikh Dr. Robi’ bin Hadi al-Madkhali hafidzahullah menasihatkan: “Termasuk pula (metode dalam berdakwah yang esensial) adalah janganlah engkau mencerca atau memaki-maki kelompok mereka. (Hal ini berdasarkan firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala yang artinya),”Dan janganlah kamu memaki sesembahan-sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. Al-An’am: 108)”[48]
Beliau menambahkan: “Wahai para penuntut ilmu, kalian jangan menyangka bahwa termasuk dari bentuk kesempurnaan manhaj yang benar ini adalah keharusan mencaci-maki tokoh-tokoh mereka. Tidak! Sesungguhnya Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Dan janganlah kamu memaki sesembahan-sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. Al-An’am: 108). Jika kalian mencerca Syaikh Fulan atau kalian mengatakan, “Fulan sesat” atau julukan-julukan lainnya atau kalian katakan, “Tarekat fulan sesat!” justru yang demikian ini hanya akan membuat umat lari menjauh darimu. Akhirnya kalian berdosa lantaran kalian telah menjauhkan manusia dari dakwah yang benar, kalian munaffirun (membuat umat lari menjauh)”. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala mengutus Mu’adz dan Abu Musa radhiyallahu ‘anhuma ke Yaman, beliau berpesan kepada keduanya: “Hendaklah kalian mempermudah dan jangan mempersulit, sampaikanlah kabar gembira kepada mereka dan jangan kalian membuat mereka lari.”[49]
Beliau kembali menegaskan: “Jika ada yang datang berdakwah kepada mereka kemudian membodoh-bodohkan pengikut Tijani, boleh jadi mereka akan menyembelihnya, bukan hanya diusir! Tapi jika kalian datang berdakwah kepada mereka dengan hikmah dan lemah lembut –barakallahu fik- maka Allah Subhaanahu wa Ta’ala akan memberikan manfaat kepada mereka lantaran perangai tersebut.”[50]
Namun perlu diingatkan di akhir pembahasan ini, bahwa penulis di sini bukan sedang mengingkari disyariatkannya pengidentifikasian secara terang-terangan nama inidividu atau kelompok yang ditahdzir, jika memang diperlukan; karena memang ada dalil shahih yang menunjukkan bolehnya penerapan praktek tersebut.
Hal ini perlu penulis tekankan, karena akhir-akhir ini, ada sementara orang yang sama sekali melarang pengidentifikasian secara terang-terangan nama individu atau kelompok yang ditahdzir, berlandaskan sebagian dalil yang menunjukkan hal itu. Namun sayangnya ia tidak tahu atau pura-pura tidak tahu, bahwa di sana juga ada dalil shahih dan praktek para ulama salaf yang menunjukkan bolehnya hal tersebut, jika memang diperlukan. Mari kita memahami Islam secara holistis, bukan secara parsial.
SYUBHAT-SYUBHAT SEPUTAR PENERAPAN METODE TAHDZIR
Di penghujung tulisan ini kami ingin meluruskan beberapa pemahaman keliru yang kerap menjadikan sebagian orang merasa enggan untuk menerapkan metode tahdzir.
Di antara pemahaman yang keliru tersebut:
Pertama:
Tahdzir adalah menyebutkan keburukan orang lain, dan ini adalah ghibah. Padahal ghibah jelas keharamannya berdalilkan al-Qur’an, hadits dan ijma’.[51]
Jawabannya:
Penerapan metode tahdzir dari individu atau kelompok yang memiliki penyimpangan, merupakan salah satu bentuk nasehat yang wajib dilakukan. Dan ini tidak termasuk ghibah yang diharamkan dalam agama Islam.
Imam Ibn Hazm rahimahullah berkata, “Para ulama telah berijma’ akan diharamkannya ghibah, kecuali dalam nasehat yang wajib.”[52]
Imam an-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa ghibah diperbolehkan dalam enam kondisi, di antaranya, “Kondisi keempat: (ghibah diperbolehkan) di saat mentahdzir kaum muslimin dari suatu keburukan, serta ketika menasihati mereka. Dan hal ini ada beberapa macam bentuknya … antara lain: jika seseorang melihat seorang santri berangkat belajar pada ahlul bid’ah atau orang yang fasik dan dia khawatir santri tersebut akan terpengaruh dengan keburukannya, maka hendaknya ia menasihati santri tersebut dengan menjelaskan kepadanya hakikat keadaan ahlul bid’ah atau orang fasik tersebut, (hal ini dibolehkan) dengan syarat tujuannya adalah untuk nasihat.”[53]
Sampai-sampai Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah menegaskan: “Tidak ada (istilah) ghibah dalam (membicarakan penyimpangan) ahlul bid’ah.”[54]
Senada dengan ungkapan Imam al-Hasan di atas, pernyataan yang disampaikan oleh Imam Ibrohim an-Nakho’i[55] dan Imam Sufyan bin ‘Uyainah.[56]
Oleh karena itu -sebagaimana telah kita jelaskan di atas- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para ulama sesudah beliau pun menerapkan metode ini. Bukankah mereka juga pasti mengetahui bahwa ghibah haram hukumnya?[57]
Kedua:
Untuk menjauhkan umat dari penerapan metode tahdzir ini, sementara orang berkata, “Berhati-hatilah, jangan sampai kita mencela kehormatan ulama; karena kehormatan mereka beracun. Siapa saja yang menjatuhkan kehormatan tersebut maka dia akan terkena racun.”
Syubhat ini mereka bangun –antara lain- di atas perkataan al-Hafidz Ibnu ‘Asakir rahimahullah: “Kehormatan para ulama adalah racun. Hukuman Allah Subhaanahu wa Ta’ala atas orang yang menjatuhkan kehormatan mereka telah maklum. Barangsiapa yang menggunakan lisannya untuk mencela ulama, niscaya Allah Subhaanahu wa Ta’ala akan menjadikan hatinya mati.”[58]
Jawabannya:
Secara global, syubhat di atas bisa dibantah dengan meminjam perkataan Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, “Ini merupakan kalimat haq, yang dimanfaatkan untuk melegalkan kebatilan.”[59]
Adapun jawaban terperinci, adalah sebagai berikut:
1. Siapakah yang dimaksud dengan para ulama? Apakah setiap yang memiliki tulisan banyak atau piawai dalam ceramah, serta-merta dia mendapatkan ‘label’ ulama? Walaupun kenyataannya dia terjerumus ke dalam penyimpangan-penyimpangan yang tidak ringan, mulai dari pengkafiran umat Islam secara keseluruhan, mencela beberapa sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan menjatuhkan kehormatan sebagian Nabi?! Ataukah yang dimaksud dengan para ulama adalah: mereka para pewaris Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang menguasai ilmu Kitab juga Sunnah dan memahaminya dengan pemahaman generasi terbaik umat ini, serta telah dikenal kemurnian akidah dan pembelaan mereka terhadap sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Barometer ini perlu diperjelas, karena masih banyak orang yang belum bisa membedakan antara ulama dengan pemikir atau penyair. Jika hal ini telah jelas, maka syubhat di atas otomatis akan runtuh dari asasnya, karena sejak awal oknum yang ditahdzir tersebut tidak masuk dalam kategori ulama.
2. Banyak di antara mereka yang ditahdzir adalah orang-orang yang terjerumus ke dalam pencelaan terhadap para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika demikian kenyataannya, syubhat tersebut akan menjadi bumerang bagi orang yang menjajakannya. Kita katakan kepada dia, “Jika kehormatan para ulama mengandung racun, apakah kehormatan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak mengandung racun?? Salahkah kita, jika membela kehormatan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah dijatuhkan oleh oknum yang ditahdzir tersebut?”
3. Pada umumnya, pihak yang menyebarkan syubhat tersebut adalah orang-orang yang gemar melakukan ‘gerakan bawah tanah’, sembunyi-sembunyi dalam menyebarkan pemahamannya[60], mengagungkan tokoh-tokoh ‘perlawanan’ (baca: melawan pemerintah kaum muslimin tanpa norma-norma yang diajarkan syari’at), lalu mengecilkan kedudukan para ulama besar Ahlus Sunnah yang telah masyhur kemurnian akidah dan manhajnya, dengan mengatakan bahwa mereka adalah para ulama kaki tangan penguasa dan mereka buta akan realita umat (baca: tidak paham fiqhul waqi’).
Jika demikian kenyataannya, bukankah orang-orang tersebut yang lebih pantas untuk kita katakan kepadanya, “Hati-hatilah! Kehormatan para ulama adalah racun”? mengapa lempar batu sembunyi tangan?
4. Seyogyanya kita berusaha memadukan antara “pembelaan terhadap al-haq” dengan “penjagaan terhadap kehormatan para ulama Ahlus Sunnah”. Kecintaan dan penghormatan kita kepada para ulama tidak berkonsekuensi mendiamkan kekeliruan mereka, di saat mereka keliru. Sebaliknya, memperingatkan kekeliruan mereka, tidak berarti mencela martabat dan menjatuhkan kehormatan mereka. Hanya orang yang diberi taufik oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala sajalah yang bisa memadukan antara dua asas agung di atas.[61]
Ketiga:
Sebagian orang enggan menerapkan metode tahdzir, dengan alasan hal itu akan mengakibatkan hati keras dan membatu.
Jawabannya:
1. Yang akan menyebabkan hati keras dan nurani mati adalah perbuatan maksiat, sedangkan penerapan metode tahdzir sesuai dengan norma-norma yang digariskan syari’at bukanlah perbuatan maksiat, bahkan ia merupakan salah satu ibadah mulia yang disyari’atkan Islam. Dan telah kami bawakan di awal tulisan ini, dalil-dalil yang menunjukkan hal tersebut.
2. Penerapan metode tahdzir merupakan salah satu bentuk peralisasian wala’ dan bara’ (cinta dan benci karena Allah Subhaanahu wa Ta’ala). Seorang muslim tidak akan pernah mencapai kesempurnaan iman kecuali jika ia telah menerapkan wala’ dan bara’ dalalm kehidupannya. Sebagaimana yang disitir oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam:
من أعطي لله تعالي، ومنع لله، واحب لله تعالي، وابغض لله تعالي، وانكح لله تعالي؛ فقد استكمل إيمانه
“Barangsiapa yang memberi karena Allah Ta’ala, menahan (pemberian) karena Allah Ta’ala, mencintai karena Allah Ta’ala , membenci karena Allah Ta’ala dan menikahkan karena Allah Ta’ala; maka telah sempurnalah imannya.”[62]
Justru dengan menerapkan metode tahdzir, kita telah menghindarkan diri dari kerasnya hati dan matinya nurani; karena dengan menerapkan metode tersebut, kita telah maju beberapa langkah guna menggapai kesempurnaan iman. Semoga..
Dari sinilah terlihat betapa-dalam pemahaman para ulama kita terhadap ajaran Islam. Mereka diragukan, adalah orang-orang yang senantiasa berusaha menjaga kesucian hati. Namun, meskipun demikian, mereka tidak lekang untuk menerapkan metode tahdzir dalam kesehariannya. Karena mereka tahu bahwa penerapan metode tersebut tidak bertolak belakang dengan usaha mencapai beningnya hati, bahkan justrumendukung dan melancarkan usaha tersebut.
Beda (halnya, -ed) dengan sebagian orang di zaman ini, yang pemahaman agamanya masih minim, sehingga mengira bahwa jalan untuk menggapai jernihnya hati adalah dengan “Saling mendiamkan kesalahan dan penyimpangan sesama muslim”[63]
Keempat:
Penerapan metode tahdzir akan menimbulkan perpecahan di tubuh umat Islam. Padahal saat ini kita amat butuh untuk bersatu guna melawan musuh-musuh kita.
Jawabannya:
Dari beberapa sisi:
1. Selama umat Islam tidak kembali kepada agamanya yang benar, niscaya mereka akan terus menjadi bulan-bulanan musuh mereka. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« إذا تبايعتم بالعينة وأخذتم أذناب البقر ورضيتم بالزرع وتركتم الجهاد سلط الله عليكم ذلاً لا ينـزعه حتى ترجعوا إلى دينكم »
“Jika kalian telah berjual beli dengan sistem ‘inah (salah satu sistem riba), kalian mengekor hewan ternak kalian, dan terbuai dengan cocok tanam, kemudian kalian meninggalkan jihad; niscaya Allah akan menimpakan kehinaan atas kalian, hingga kalian kembali kepada agama kalian.”[64]
Jadi, sekedar menggembar-gemborkan persatuan antar umat, tanpa meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dan mengembalikan umat kepada ajaran Islam yang murni, tidak akan bermanfaat untuk mengalahkan musuh.
Kalaupun bersatu dalam jumlah yang banyak, namun persatuan itu; hanya ibarat banyaknya buih di lautan. Sebagaimana yang disitir oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,
« يوشك الأمم أن تداعى عليكم كما تداعى الأكلة إلى قصعتها. فقال قائل: ومن قلة نحن يومئذ؟ قال: بل أنتم يومئذ كثير ولكنكم غثاء كغثاء السيل »
“Akan tiba saatnya bangsa-bangsa mencaplok kalian, sebagaimana orang-orang yang berebut makanan di dalam nampan. Seseorang bertanya, “Apakah karena saat itu jumlah kita sedikit?”. Jawab Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bahkan saat itu jumlah kalian banyak, namun kalian bagaikan buih di lautan.”[65]
2. Yang kerap menimbulkan perpecahan adalah penerapan metode tahdzir tanpa mengindahkan norma-normanya. Jika ada orang yang menerapkan metode tahdzir tanpa memperhatikan norma-normanya, maka janganlah kita mengingkari metode tahdzirnya; karena metode ini telah disyariatkan berdasarkan dalil-dalil yang kuat -sebagaimana telah dijelaskan di atas-. Sikap yang benar adalah: kita tetap menerapkan metode ini, namun dengan memperhatikan norma-normanya, sambil berusaha meluruskan pihak yang keliru dalam penerapannya. Jika metode tahdzir telah dilakukan sesuai dengan norma-normanya insya Allah tidak akan menimbulkan perpecahan, kecuali dalam satu kondisi yaitu:
3. Orang yang diperingatkan tetap bersikeras dengan kesalahannya. Inilah yang justru menimbulkan perpecahan di dalam tubuh umat. Sudah dijelaskan padanya dalil-dalil dari al-Qur’an dan hadits, serta perkataan-perkataan para ulama yang menerangkan kesalahan dia, namun masih saja ngotot dengan pendapatnya yang keliru; orang-orang model seperti inilah yang seharusnya dikatakan merusak rapatnya barisan kaum muslimin, bukan orang-orang yang berusaha menerapkan metode tahdzir dengan norma-normanya yang benar.
PENUTUP
Semoga Allah Subhaanahu wa Ta’ala mengaruniakan kepada kita pemahaman yang benar terhadap ajaran Islam, sebagai sarana untuk mengamalkannya. Juga semoga Allah Subhaanahu wa Ta’ala menjadikan kita (sebagai, -ed) orang-orang yang senantiasa bersegera rujuk kepada al-haq tatkala sadar bahwa kita berada di atas kekeliruan. Saudaraku, terjerumus kepada suatu kekeliruan bukanlah suatu aib, namun bersikeras di atas kekeliruan itulah yang merupakan aib.
Tegur sapa membangun dari para pembaca yang budiman senantiasa kami tunggu. “Semoga Allah Ta’ala merahmati orang yang sudi menunjukkan kepadaku kekeliruan-kekeliruanku.”
Wallahu taa’la a’lam.
Wa shallalllahu’ala nabiyyina muhammadin wa ‘ala alii wa shahbihi ajma’in…
Selesai diedit ulang di kota Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
shallallahu ‘alaihi wa sallam
Pada awal Shafar 1429 H
Hamba Allah yang senantiasa
mengharap ampunanNya
mengharap ampunanNya
Daftar Pustaka:
1. Al-Qur’an dan terjemahannya.
2. Akhbar ‘Amr bin ‘Ubaid, ad-Daruquthni.
3. Al-Adzkar, an-Nawawi.
4. Al-Furuq, al-Qarafi.
5. Al-Ihsan fi Taqrib Shahih Ibn Hibban, Ibn Balban.
6. Al-Imamah, al-Ashbahani.
7. Al-Istighatsah, Ibn Taimiyah.
8. Al-Jama’at al-Islamiyyah, Salim al-Hilali.
9. Al-Jami’ fi Ahkam al-Qur’an, al-Qurthubi.
10. Al-Kafiyah fi al-Jadal, al-Juwaini.
11. Al-Mahajjah al-Baidha’, Rabi’ al-Madkhali.
12. Al-Qaul as-Sadid, Abdurrazaq al-Badr.
13. An-Nashihah, al-Albani.
14. Ar-Radd ‘ala al-Mukhalif, Bakr Abu Zaid.
15. Ar-Radd ‘ala ar-Rifa’i, Abdul Muhsin al-’Abbad.
16. Ash-Shawa’iq al-Muhriqah, Ibn Hajar al-Haitami.
17. Ash-Shawa’iq al-Mursalah, Ibn al-Qayyim.
18. At-Tahdzir min Mukhtasharat ash-Shabuni, Bakr Abu Zaid.
19. At-Tashfiyah wa at-Tarbiyah, Ali bin Hasan al-Halabi.
20. Bughyah al-Multamis, al-’Ala’i.
21. Fadha’ih al-Bathiniyyah, al-Ghazali.
22. Ghayah al-Amani, al-Alusi.
23. Ijma’ al-’Ulama, Khalid azh-Zhufairi.
24. Irsyad al-Fuhul ila Tahrir an-Nuqul, Salim al-Hilali.
25. Irsyad as-Sari, al-Qasthallani.
26. Khalq Af’al al-’Ibad, al-Bukhari.
27. Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah.
28. Maratib al-Ijma’, Ibn Hazm.
29. Matha’in Sayyid Quthb, Rabi’ al-Madkhali.
30. Mathla’ al-Fajr, Salim al-Hilali.
31. Mauqif Ahl as-Sunah min Ahl al-Bida’, Ibrahim ar-Ruhaili.
32. Minhaj at-Ta’sis, Abdul Lathif Alu Syaikh.
33. Munazharat A’immah Salaf, Salim al-Hilali.
34. Musnad Ahmad.
35. Naqdh Utsman bin Sa’id, ad-Darimi.
36. Nashihah li asy-Syabab, Ibrahim ar-Ruhaili.
37. Riyadh ash-Shalihin. (Imam an-Nawawi,-ed)
38. Shahih al-Bukhari.
39. Shahih Muslim.
40. Shahih Sunan Abi Dawud, al-Albani.
41. Shahih Sunan Ibn Majah, al-Albani.
42. Sittu Durar, Abdul Malik al-Jazairi.
43. Sunan Abi Dawud.
44. Sunan Ibn Majah.
45. Syaraf Ashab al-Hadits, al-Khathib al-Baghdadi.
46. Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, Ibn Katsir.
47. Tahrim an-Nazhar, Ibn Qudamah.
48. Tanzih ad-Din, as-Sa’di.
49. Thariq al-Hijratain, Ibn al-Qayyim.
2. Akhbar ‘Amr bin ‘Ubaid, ad-Daruquthni.
3. Al-Adzkar, an-Nawawi.
4. Al-Furuq, al-Qarafi.
5. Al-Ihsan fi Taqrib Shahih Ibn Hibban, Ibn Balban.
6. Al-Imamah, al-Ashbahani.
7. Al-Istighatsah, Ibn Taimiyah.
8. Al-Jama’at al-Islamiyyah, Salim al-Hilali.
9. Al-Jami’ fi Ahkam al-Qur’an, al-Qurthubi.
10. Al-Kafiyah fi al-Jadal, al-Juwaini.
11. Al-Mahajjah al-Baidha’, Rabi’ al-Madkhali.
12. Al-Qaul as-Sadid, Abdurrazaq al-Badr.
13. An-Nashihah, al-Albani.
14. Ar-Radd ‘ala al-Mukhalif, Bakr Abu Zaid.
15. Ar-Radd ‘ala ar-Rifa’i, Abdul Muhsin al-’Abbad.
16. Ash-Shawa’iq al-Muhriqah, Ibn Hajar al-Haitami.
17. Ash-Shawa’iq al-Mursalah, Ibn al-Qayyim.
18. At-Tahdzir min Mukhtasharat ash-Shabuni, Bakr Abu Zaid.
19. At-Tashfiyah wa at-Tarbiyah, Ali bin Hasan al-Halabi.
20. Bughyah al-Multamis, al-’Ala’i.
21. Fadha’ih al-Bathiniyyah, al-Ghazali.
22. Ghayah al-Amani, al-Alusi.
23. Ijma’ al-’Ulama, Khalid azh-Zhufairi.
24. Irsyad al-Fuhul ila Tahrir an-Nuqul, Salim al-Hilali.
25. Irsyad as-Sari, al-Qasthallani.
26. Khalq Af’al al-’Ibad, al-Bukhari.
27. Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah.
28. Maratib al-Ijma’, Ibn Hazm.
29. Matha’in Sayyid Quthb, Rabi’ al-Madkhali.
30. Mathla’ al-Fajr, Salim al-Hilali.
31. Mauqif Ahl as-Sunah min Ahl al-Bida’, Ibrahim ar-Ruhaili.
32. Minhaj at-Ta’sis, Abdul Lathif Alu Syaikh.
33. Munazharat A’immah Salaf, Salim al-Hilali.
34. Musnad Ahmad.
35. Naqdh Utsman bin Sa’id, ad-Darimi.
36. Nashihah li asy-Syabab, Ibrahim ar-Ruhaili.
37. Riyadh ash-Shalihin. (Imam an-Nawawi,-ed)
38. Shahih al-Bukhari.
39. Shahih Muslim.
40. Shahih Sunan Abi Dawud, al-Albani.
41. Shahih Sunan Ibn Majah, al-Albani.
42. Sittu Durar, Abdul Malik al-Jazairi.
43. Sunan Abi Dawud.
44. Sunan Ibn Majah.
45. Syaraf Ashab al-Hadits, al-Khathib al-Baghdadi.
46. Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, Ibn Katsir.
47. Tahrim an-Nazhar, Ibn Qudamah.
48. Tanzih ad-Din, as-Sa’di.
49. Thariq al-Hijratain, Ibn al-Qayyim.
Sumber pengambilan:-
Dari artikel berjudul Upaya Menjaga Kemurnian Islam, Menyoal Tahdzir dan Norma-Normanya http://salafiyunpad.wordpress.com/2008/07/02/upaya-menjaga-kemurnian-islam-menyoal-tahdzir-dan-norma-normanya/
- Dikomparasikan dengan artikel dengan judul yang sama di majalah AL FURQON, no. 95 Edisi Khusus, tahun ke-9 [1430/2009], hal. 47-56
[1] HR. Ibnu Hibban (XIII/282 no. 5952 -al-Ihsan). Muhaqqiq Shahih Ibn Hibban menshahihkan hadits ini.
[2] Untuk pembahasan lebih luas rujuklah: At-Tashfiyah wa at-Tarbiyah wa Atsaruhuma fi Isti’nafi al-Hayah al-Islamiyyah, karya Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi.
[3] Majmu’ al-Fatawa (XXXV/414). Lihat pula: Sittu Durar min Ushul Ahl al-Atsar, karya Syaikh Abdul Malik Ramadhani: hal. 109-112
[4] Lihat: al-Kafiah fi al-Jadal, hal. 23-24
[5] HR. Al-Khathib al-Baghdady rahimahullah dalam Syaraf Ashab al-Hadits (hal. 65 no. 51) dan yang lainnya. Hadits ini dishahihkan oleh Imam Ahmad sebagaimana dalam Syaraf Ash-hab al-Hadits (hlm. 65). Al-‘Ala’i dalam Bughyah al-Multamis (hlm. 34) berkata, “Hasan Shahih Gharib”. Ibn al-Qayyim dalam Thariq al-Hijratain (hal. 578) berkata, “Hadits ini diriwayatkan dari banyak jalan yang saling menguatkan.” Senada dengan perkataan Ibn al-Qayyim: penjelasan al-Qashthallani dalam Irsyad as-Sari (I/7). Syaikh Salim al-Hilali telah mentakhrij hadits ini secara riwayah dan dirayah dalam kitabnya: Irsyad al-Fuhul ila Tahrir an-Nuqul fi Tash-hih Hadits al-‘Udul, dan beliau menyimpulkan bahwa derajat hadits ini adalah hasan.
[6] Lihat dalil-dalil tersebut dalam kitab: Mauqif Ahl as-Sunnah, karya Syaikh Dr. Ibrahim ar-Ruhaily hafizhahullah (II/482-488), al-Mahajjah al-Baidha’ karya Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah (hal. 55-74), ar-Radd ‘ala al-Mukhalif, karya Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah (hal. 22-29), dan Munazharat A’immah as-Salaf, karya Syaikh Salim al-Hilaly hafizhahullah (hal.14-19)
[7] HR. Ahmad (III/4-5). Para muhaqqiq Musnad (XVII/47) menshahihkan isnadnya. Hadits ini aslinya dalam Bukhari (no. 6933) dan Muslim (II/744 no. 1064
[8] HR. Ibnu Majah (I/62 no. 176). Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Ibn Majah (I/76) berkata, “Hasan shahih”
[9] HR. Ibnu Majah (hal. 32 no. 92) dan yang lainnya. As-Sindi dalam ta’liq beliau atas Sunan Ibnu Majah (I/70 –cet. Dar al-Ma’rifah) menyebutkan bahwa Imam al-Hakim dan al-Hafidz Ibnu Hajar menshahihkan hadits ini. Syaikh al-Albani menghasankan hadits ini dalam takhrij beliau atas Kitab as-Sunnah karya Imam Ibnu Abi ‘Ashim (hal. 144)
[10] Al-Furuq, IV/207
[11] Majmu’ Fatawa Syaikhil Islam: XXVIII/231
[12] Lihat: Mathla’ al-Fajr fi Fiqh az-Zajr bi al-Hajr karya Syaikh Salim al-Hilali (hal. 62-77) dan Ijma’ al-’Ulama’ ‘ala al-Hajr wa at-Tahdzir min Ahl al-Ahwa’, karya Syaikh Khalid azh-Zhufairi, hal. 89-153
[13] Tidak semua tokoh yang kami sebutkan di sini berakidah Ahlus Sunnah dalam setiap permasalahan, namun ada sebagian kecil dari mereka yang berseberangan dengan Ahlus Sunnah dalam berbagai permasalahan. Sengaja mereka kami sebutkan pula, agar umat tahu bahwa metode tahdzir ini juga diterapkan oleh para ahli ilmu di luar lingkaran Ahlus Sunnah, maka amat keliru jikalau Ahlus Sunnah selalu dipojokkan akibat mereka menerapkan metode ini, wallahu a’lam
[14] HR. Muslim, no. 1
[15] Dicetak di Riyadh: Dar Athlas al-Khadhra’, dengan tahqiq Dr. Fahd al-Fuhaid
[16] Dicetak di Riyadh: Maktabah ar-Rusyd, dengan tahqiq Dr. Rasyid al-Alma’i
[17] Dicetak di Riyadh; Dar at-Tauhid, dengan tahqiq Muhammad Alu ‘Amir
[18] Dicetak di Madinah: Maktabah al-’Ulum wa al-Hikam, dengan tahqiq Prof. Dr. Ali al-Faqihi
[19] Dicetak di Kuwait: Dar al-Kutub ats-Tsaqafiyyah, dengan tahqiq Abdurrahman Badawi
[20] Dicetak di Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, dengan tahqiq Abdurrahman Dimasyqiyyah
[21] Dicetak di Riyadh: Maktabah Dar al-Minhaj, dengan tahqiq Dr. Abdullah as-Sahli
[22] Dicetak di Riyadh: Adhwa’ as-Salaf, dengan tahqiq Dr. Ali ad-Dakhilullah
[23] Dicetak di Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, dengan tahqiq Abdurrahman at-Turki dan Kamil al-Kharrath
[24] Wihdatul wujud adalah suatu paham yang diciptakan orang-orang sufi, intinya mengatakan bahwa Allah Subhaanahu wa Ta’ala adalah alam semesta dan alam semesta adalah Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Orang Jawa mengistilahkannya: Manunggaling kawulo Gusti. Tokoh yang paling getol menyebarkannya pada masa lalu adalah al-Hallaj. Sedangkan ‘pengibar bendera’nya di Indonesia, antara lain, di Jawa: Syaikh Siti Jenar, di Sumatra: Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani, dan di Sulawesi serta Kalimantan: Yusuf al-Makassari dan Muhammad Nafis al-Banjari. Akhir-akhir ini ada yang berusaha membungkus pemahaman sesat ini dengan ‘baju sains’, yaitu: Agus Musthafa dalam bukunya Bersatu dengan Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Lihat: Misteri Syekh Siti Jenar, karya Prof. DR. Hasanu Simon (hal. 386), Syiah dan Ahlus Sunnah Saling Rebut Pengaruh dan Kekuasaan, karya Prof. A. Hasjmy (hal. 52-53), Syaikh Yusuf Seorang Ulama, Sufi, dan Pejuang karya Abu Hamid (hal. 180), dan Ensiklopedi Islam Indonesia (hal. 676-678). Untuk bantahan yang luas atas paham sesat ini, silakan merujuk kitab: ‘Aqidah ash-Shufiyyah Wihdah al-Wujud al-Khafiyyah karya DR. Ahmad bin Abdul ‘Aziz al-Qushayyir.
[25] Lihat: Syiah dan Ahlus Sunnah Saling Rebut Pengaruh dan Kekuasaan, karya Prof. A. Hasjmy (hal. 54), Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara karya Prof. DR. Azyumardi Azra (hal. 219-220) dan Ensiklopedi Islam Indonesia (hal. 745-746)
[26] Dicetak di Riyadh: Dar al-Hidayah
[27] Lihat: Durus min Madhi at-Ta’lim wa Hadhirih bi al-Masjid al-Haram karya ‘Umar Abdul Jabbar (hlm. 43-44) dan Syaikh Ahmad Khathib Ilmuwan Islam di Permulaan Abad Ini karya Drs. Akhria Nazwar (hlm. 21). Buku pertama dan buku kedua (mungkin maksud penulis, adalah buku ini:Izh-har Zaghl al-Kadzibin fi Tasyabuhihim bi ash-Shodiqin” dan “As-Saif al-Battar fi Mahq Kalimat Ba’dh al-Aghrar“, -ed) berbahasa melayu dengan huruf Arab, sedangkan buku ketiga (mungkin maksudnya buku ini: Tanbih al-Ghafil bi Suluk Thariqah al-Awa’il, -ed) berbahasa Arab. Buku pertama telah disalin ke bahasa dan huruf Indonesia (yaitu dengan huruf alfabet, -ed), lalu diterbitkan penerbit Firma Islamyah Medan, dengan judul Fatwa tentang Thariqat Naqsyabandiyyah.
[28] Dicetak di Riyadh: Maktabah ar-Rusyd, dengan ‘inayah ad-Dani Zahwi
[29] Dicetak di Damam: Dar Ibn al-Jauzi, dengan tahqiq Abdurrahman ar-Rahmah
[30] Dalam buku yang berjudul “ar-Rudud“, dicetak di Riyadh: Dar al-’Ashimah
[31] Dicetak di Damam: Dar Ibn al-Qayyim
[32] Dicetak di Kairo: Dar al-Imam Ahmad
[33] Dicetak di Damam: Dar Ibn al-Jauzi
[34] Sebagaiman dalam buku-bukunya, antara lain: Ma’alim fi ath-Thariq (hal.158) dan Fi Zhilalil Qur’an (II/1057, III/1816, IV/2122. Adanya pemikiran asal vonis takfir dalam diri Sayyid Quthb rahimahullah ini, juga diakui oleh para pengagumnya, yakni para tokoh Ikhwanul Muslimin. Di antara mereka yang mengakui hal tersebut: Dr. Yusuf Qaradhawi dalam bukunya: Aulawiyyat al-Harakah Islamiyyah (hal.110), Farid Abdul Khaliq dalam bukunya: Al-Ikhwan al-Muslimun fi Mizan al-Haq (hal. 115), Salim al-Bahsanawi dalam bukunya al-Hukm wa Qadhiyyah Takfir al-Muslim (hal. 50) dan Ali Jarisyah dalam bukunya: Al-Ittijahat al-Fikriyyah al-Mu’ashirah (hal. 279). Lihat: At-Takfir wa Dhawabithuh karya Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili (hal. 38-42)
[35] Sebagaimana dalam bukunya: al-’Adalah al-Ijtima’iyyah (hal. 186, 187, 206, 207). Lihat: Matha’in Sayyid Quthb (98, 120, 212, 237, 248)
[36] Dicetak di Emirat: Maktabah al-Furqan) dan kitab-kitab beliau lainnya.
[37] Dicetak di Damam: Dar Ibn al-Qayyim
[38] Dicetak di Kairo; Dar al-Imam Ahmad
[39] Lihat kitab: Mauqif Ahl as-Sunnah: II/493-494 dan Sittu Durar min Ushul Ahl al-Atsar: hal. 113-121
[40] Lihat Majmu’ al-Fatawa (XXVIII/235) dan Minhaj as-Sunnah karya Syaikhul Islam (V/253)
[41] Lihat: Nashihah li asy-Syabab (hal. 6-8). Ada beberapa tambahan dari kami atas poin kedua, dan hal tersebut telah disetujui oleh Syaikh Ibrahim. Silahkan merujuk pula: Mauqif Ahl as-Sunnah: II/507-509 dan ar-Radd ‘ala al-Mukhalif, karya Syaikh Bakr Abu Zaid, hal 53-68 dan 85
[42] Lihat: 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah karya Abdullah Zaen (hal. 91-99)
[43] HR. Muslim (II/1020 no. 1401)
[44] HR. Muslim (II/1114 no. 1480), Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeluarkan pernyataan ini tatkala dimintai pendapat oleh Fathimah binti Qois radhiyallahu ‘anha tentang siapa di antara dua sahabat tadi yang akan dia terima pinangannya, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan kekurangan masing-masing dari keduanya dan menasihatkan kepada Fathimah agar bersedia dinikahi Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu. Seandainya menyebutkan aib dua orang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk kepentingan duniawi seorang wanita diperbolehkan, tentunya menyebutkan aib ahlul bid’ah untuk kepentingan akhirat kaum muslimin lebih layak untuk diperbolehkan. Lihat: Mauqif Ahl as-Sunnah (II/488) dan Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam (XXVIII/230)
[45] Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah (VIII/242). Lihat pula: Ar-Radd ‘ala Mukhalif (hal. 60)
[46] Syarh al-Arba’in an-Nawawiyyah (hlm. 317)
[47] Sebagaimana dalam kaset beliau yang berjudul Tsimar Murroh min Ghiras at-Tajrih bi Ghairi Haq.
[48] Al-Hats ‘ala al-Mawaddah (hal. 24)
[49] Ibid (hal.25)
[50] Ibid (hal.30)
[51] Di antara para ulama yang menukil ijma’ akan haramnya ghibah: Imam Ibn Hazm dalam Maratib al-Ijma’ (hal. 156), Imam an-Nawawi dalam al-Adzkar (hal. 542) dan Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-’Azhim (VII/380). Sedangkan Imam al-Qurthubi dalam al-Jami’ fi Ahkam al-Qur’an, beliau mengatakan bahwa para ulama tidak berbeda pendapat bahwa ghibah adalah termasuk kategori dosa besar.
[52] Lihat: Maratib al-Ijma’, hal. 156
[53] Riyadh ash-Shalihin, hal. 561-562
[54] Syarh Ushul I’tiqod Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah karya Imam al-Lalika’i (I/158 no. 280)
[55] Lihat: Ibid (I/158 no. 276)
[56] Lihat: Mukhtashar al-Hujjah ‘ala Tariki al-Mahajjah karya Imam Nashr al-Maqdisi (I/292 no. 313
[57] Untuk pembahasan lebih luas tentang masalah ini, silahkan merujuk kitab Mauqif Ahl as-Sunnah min Ahl al-Bida’, (II/481-510)
[58] Dinukil oleh Imam an-Nawawi dalam Muqoddimah kitab beliau al-Majmu’
[59] Kitab asy-Syari’ah karya Imam al-Ajurri (I/353 no. 51)
[60] Imam al-lalika’i meriwayatkan dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz rahimahullah perkataannya, “Jika engkau mendapatkan segolongan orang membicarakan perkara agama secara rahasia, dan menutup-nutupinya dari umumnya kaum muslimin, maka ketahuilah bahwa mereka sedang membangun kesesatan.” Lihat: Syarh Ushul I’tiqod Ahl as-Sunnah (I/153 no. 251)
[61] Nashihah li asy-Syabab (hal. 9). Lihat: al-Fatawa al-Kubro oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (III/177-178)
[62] HR. Tirmidzi (hal. 568 no. 2521) dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah (I/113)
[63] Lihat bantahan atas pemahaman keliru ini dalam Zajr al-Mutahawin bi Dharar Qo’idah al-Ma’dzirah wa at-Ta’awun, karya Hamd bin Ibrahim al-‘Utsman.
[64] HR. Abu Daud, III/477 no. 3462, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud, II/365
[65] HR. Abu Dawud (IV/315 no. 4297), dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud (III/25))
sumber: http://maktabahabiyahya.wordpress.com/2012/04/12/upaya-menjaga-kemurnian-islam-menyoal-tahdzir-dan-norma-normanya/#more-411
sumber: http://maktabahabiyahya.wordpress.com/2012/04/12/upaya-menjaga-kemurnian-islam-menyoal-tahdzir-dan-norma-normanya/#more-411