10 Faedah Tentang Ilmu Hadits[1]
Oleh: Ustadz Abu Ubaidah al-Atsary
1. PENTINGNYA SANAD
Ketahuilah saudaraku —semoga Alloh Subhanahu Wa Ta’ala memberi taufiq kepadamu— bahwa terpeliharanya sanad (mata rantai perowi dalam meriwayatkan hadits) merupakan kenikmatan yang Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berikan kepada umat ini, sehingga terjagalah kesucian agama ini dari tangan-tangan lancang yang ingin mengotorinya. Oleh karena itu, tatkala ahli kitab tidak memiliki sanad dalam agama mereka, terjadilah banyak percampuran antara kebenaran dan kebatilan dalam agama mereka.[2]
Para ulama sangat memperhatikan masalah sanad ini dengan serius, karena sanad merupakan pondasi utama untuk sampai kepada tujuan ilmu hadits. yaitu memilah antara hadits shohih dan lemah. Imam Ibnu Mubarok Rahimahullah pernah berkata:
الإِسْنَادُ مِنَ الدِّينِ وَلَوْلاَ الإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ
Sesungguhnya sanad itu termasuk agama. Seandainya tidak ada sanad, seorang akan sembarangan berbicara.[3]
Sufyan ats-Tsauri Rahimahullah berkata:
الإسناد سلاح المؤمن ، فإذا لم يكن معه سلاح فبأي شيء يقاتل
Isnad adalah senjata seorang mu’min, kalau dia tidak memiliki senjata, lantas dengan apa dia berperang?! [4]
Seseorang pernah berkata kepada Imam Zuhri Rahimahullah, “Ceritakanlah kepadaku hadits tanpa sanadnya.” Maka beliau berkata,”Bisakah diriku ini naik ke atap tanpa tangga?!! [5]
Maka hendaknya kita tidak merasa bosan untuk membaca sanad karena itu adalah perangai orang-orang yang malas, tetapi hendaknya dia merasa senang membacanya sebagaimana akhlak para ulama terkemuka.[6]
2. MENCERITAKAN HADITS LEMAH
Banyak para penulis masa kini dari berbagai madzhab dan fakultas membawakan hadits-hadits yang dinisbatkan kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam tanpa menjelaskan kelemahannya, balk karena jahil terhadap hadits, atau memang karena malas membuka kitab-kitab hadits. Sebagian mereka menyepelekan secara khusus dalam masalah fadho’il amal. Abu Syamah Rahimahullah berkata[7]:
“Hal ini menurut ahli hadits dan ulama ahli ushul fiqih menupakan suatu kesalahan, bahkan hendaknya dijelaskan derajatnya apabila diketahui, kalau dia tidak menjelaskan maka dia termasuk dalam hadits:
مَنْ حَدَّثَ عَنِّي بِحَدِيثٍ وَهُوَ يَرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ
Barangsiapa menceritakan hadits dariku dan hadits tersebut diketahui dusta maka dia adalah salah satu pendusta.(HR. Muslim)
Syaikh al-Albani Rahimahullah berkomentar:”Ini hukum orang yang diam dari hadits-hadits lemah dalam fadho’il! Lantas bagaimana dalam masalah hukum dan sejenisnya?![8]
Ibnu Hajar al-Haitarni pernah ditanya tentang para khotib yang biasa menyarnpaikan hadits-hadits lemah dan palsu dalam khutbahnya, beliau menjawab:
“Tidak halal berpedoman dalam menyampaikan hadits pada suatu kitab atau khutbah yang penulisnya bukan ahli hadits. Barangsiapa yang melakukan hal itu maka dia layak untuk dihukum dengan hukuman yang berat. lnilah keadaan para khotib zaman sekarang, tatkala melihat ada makalah khutbah yang berisi hadits-hadits, mereka langsung menghafalnya dan berkhutbah dengannya tanpa menyeleksi terlebih dahulu apakah hadits tersebut ada asalnya ataukah tidak. Maka merupakan kewajiban bagi pemimpin negeri tersebut untuk melarang para khotib dari perbuatan tersebut dan menegur dari khotib yang telah melakukan perbuatan tersebut”[9]
3. IBADAH DENGAN HADITS SHOHIH
Hendaknya bagi kita beribadah di atas dalil yang shohih, dan tidak beramal suatu amalan sebelum kita mengetahui keshohihan dalil tersebut. Para ulama salaf kita telah memberikan contoh akan pentingnya hal ini. Imam al-Harowi Rahimahullah meriwayatkan bahwasanya Abdulloh bin Mubarok Rahimahullah pernah tersesat dalam safar. Sebelumnya, telah sampai kabar kepadanya,”Barangsiapa yang terjepit dalam kesusahan kemudian berseru, Wahai hamba Alloh! Tolonglah aku,’ maka dia akan ditolong.” (Abdulloh bin Mubarok) berkata,”Maka aku mencari hadits ini untuk aku lihat sanadnya.”
Al-Harowi Rahimahullah mengomentari dengan perkataannya, “Abdulloh bin Mubarok tidak memperbolehkan dirinya untuk berdo’a dengan suatu do’a yang tidak dia ketahui sanadnya.”[10]
Setelah membawakan ucapan di atas, Syaikh al-Albani Rahimahullah berkomentar: “Demikianlah hendaknya Ittiba’.”[11] I
4. KEBENARAN MAKNA HADITS
Ada beberapa hadits yang lemah tetapi maknanya benar, karena adanya dalil shohih dari al-Qur’an dan hadits yang menunjukkan kebenaran makna tersebut, atau terbukti dalam fakta. Namun harus diketahui bahwa tidak semua hadits yang maknanya benar berarti Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam pernah mengatakannya, sehingga tidak boleh menisbatkannya kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam.
Sebagai suatu contoh, hadits berikut:
إذا أبغض المسلمون علماءهم و أظهروا عمارة أسواقهم و تناكحوا على جمع الدراهم رماهم الله عز و جل بأربع خصال : بالقحط من الزمان و الجور من السلطان و الخيانة من ولاة الأحكام و الصولة من العدو
Apabila kaum muslimin membenci para ulama mereka, menampakkan para penjaga pasar mereka, saling menikah untuk mengumpulkan dirham, maka Alloh akan menimpakan kepada mereka empat perkara; kekeringan yang cukup lama, kedzoliman penguasa, pengkhianatan para pemimpin, dan serangan dari musuh.
Adz-Dzahabi Rahimahullah berkata tentang hadits ini: “Munkar.” Syaikh al-Albani Rahimahullah berkomentar: “Sebagian penuntut ilmu yang bodoh telah menulis dengan tinta yang tidak bisa dihapus setelah ucapan adz-Dzahabi di atas pada Nuskhoh Zhohiriyyah:” Saya berkata: Bahkan, haditsnya adalah shohih sekali (!).”
Sepertinya, orang bodoh ini beranggapan bahwa suatu hadits apabila sesuai dengan kenyataan berarti Rosul Shallallahu Alaihi Wasallam pasti mengucapkannya. Sungguh ini adalah kejahilan yang amat parah, karena betapa banyak hadits-hadits yang dilemahkan oleh para ulama ahli hadits padahal maknanya shohih. Terlalu banyak sekali kalau saya harus menampilkan contoh-contohnya, cukuplah apa yang terdapat kitab karyaku ini.
Seandainya penshohihan hadits dibuka karena melihat maknanya yang shohih tanpa melihat kepada sanadnya, niscaya berapa banyak kebathilan akan masuk pada syariat! Dan betapa banyak manusia yang akan menyandarkan kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam suatu ucapan yang tidak beliau katakan dengan alasan tersebut, kemudian mereka mengambil tempat duduknya di neraka.”[12]
5. PERCOBAAN BUKANLAH HUJJAH
Suatu hadits tidak bisa dihukumi shohih berdasarkan percobaan, tetapi harus dibangun di atas sanad dan undang-undang hadits yang telah mapan.
Sebagai suatu contoh adalah hadits berikut:
إذا انفلتت دابة أحدكم بأرض فلاة فليناد : يا عباد الله احبسوا علي يا عباد الله احبسوا علي فإن لله في الأرض حاضر سيحبسه عليكم
Apabila hewan kendaraan kalian lepas di tanah !uas, maka hendaknya dia memanggil: “Wahai hamba Alloh tahanlah untukku, wahai hamba Alloh tahanlah untukku, maka Alloh memiliki orang yang hadir di bumi untuk menahan hewan kendaraan tersebut untuk kalian.
As-Sakhowi Rahimahullah berkata: “Sanadnya lemah, tetapi an-Nawawi berkata bahwa dia dan sebagian gurunya pernah mencobanya dan terbukti.”[13]
Syaikh al-Albani mengomentari hal ini: “Ibadah tidaklah dibangun di atas percobaan, lebih-lebih apabila berkaitan dengan masalah ghoib seperti hadits ini, maka tidak boleh untuk condong menshohihkannya karena berdasarkan percobaan.”[14]
Alangkah bagusnya ucapan al-Hafidz asy-Syaukani Rahimahullah:”Sunnah tidaklah ditetapkan dengan percobaan. Terkabulnya doa tidaklah menunjukkan bahwa faktor terkabulnya adalah shohih dari Rosululloh Shallallahu Alaihi Wasallam, karena bisa jadi Alloh Subhanahu Wa Ta’ala mengabulkan doa seorang tanpa tawassul kepada-Nya sebab Alloh Maha Penyayang terhadap hamba-Nya, dan bisa jadi terkabulnya doa dikarenakan Alloh memanjakan seorang sehingga dia terus larut dalam kelalaiannya.”[15]
6. ILHAM DAN ILMU HADITS
Al-Ajluni berkata menyebutkan dari lbnu Arobi as-Sufi bahwa suatu hadits yang lemah karena adanya perowi yang pendusta bisa jadi shohih karena ilham yang diberikan Rosul Shallallahu Alaihi Wasallam kepadanya.[16]
Ucapan ini tidak perlu dibantah karena sangat jelas sekali kebatilannya. Apa faedahnya sanad kalau begitu?! Dan apa faedahnya jerih payah para ulama ahli hadits dalam menjernihkan hadits Nabi kalau begitu?!
Syaikh al-Albani Rahimahullah berkata setelah menjelaskan palsunya suatu hadits: “Adapun ucapan asy-Sya’roni dalam al-Mizan: “Hadits ini sekalipun dibicarakan oleh ahli hadits, tetapi shohih menurut ahli kasyf (sufi).” Maka ini adalah ucapan yang bathil, tidak perlu dilirik sedikitpun, sebab penshohihan hadits berdasarkan ilham merupakan kebid’an shufi yang hina. Berpedoman dengan teori tersebut akan menyebabkan penshohihan hadits-hadits bathil dan tidak ada asalnya.”[17]
7. POPULER BELUM TENTU SHOHIH
Suatu hadits yang masyhur (populer) dan laris manis di kalangan masyarakat tidaklah menunjukkan bahwa hadits tersebut mesti shohih sama sekali. Berapa banyak hadits yang masyhur di masyarakat, tetapi para ulama ahli hadits menghukuminya sebagai hadits lemah, palsu bahkan tidak ada asalnya. Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah berkata: “Hadits masyhur bisa juga diartikan dengan suatu hadits yang banyak beredar di lidah masyarakat umum, maka hal ini mencakup hadits yang memiliki satu sanad atau lebih, bahkan hadits yang tidak memiliki sanad sama sekali.”[18]
Syaikhul Islam Rahimahullah juga berkata: “Seandainya sebagian masyarakat umum yang mendengar hadits dari tukang cerita dan aktivis dakwah, atau dia membaca hadits, yang baginya adalah populer, maka bukanlah hal itu menjadi patokan sama sekali. Betapa banyak hadits-hadits yang populer di masyarakat umum, bahkan di kalangan para ahli fiqih, kaum sufi, ahli filsafat dan sebagainya, lalu menurut pandangan ahli hadits ternyata hadits tersebut adalah tidak ada asalnya, dan mereka menegaskan hadits tersebut palsu.”[19]
Perlu diketahui bahwa populernya suatu hadits berbeda-beda sesuai dengan waktu dan tempat. Oleh karena itulah, para ulama ahli hadits memperhatikan masalah ini dan membukukannya secara khusus, seperti Kasyful Khofa oleh al-Ajluni, ad-Duror al-Muntasyiroh oleh as-Suyuthi, al-Maqoshidul Hasanah oleh as-Sakhawi dan lain sebagainya.
8. HADITS LEMAH DALAM FADHOIL AMAL
Banyak orang yang beranggapan bahwa hadits lemah bisa dijadikan sandaran dalam masalah fadho’il amal dengan tidak ada perselisihan di kalangan ulama. Sungguh, ini adalah anggapan yang keliru sebab para ulama telah berselisih tentangnya. Namun yang harus diperhatikan di sini bahwa para ulama yang membolehkan berhujjah dengan hadits lemah dalam fadho’il amal, mereka mensyaratkan tiga persyaratan penting yang banyak dilalaikan oleh orang-orang yang beralasan dengannya, yaitu:
a . Hadits tersebut kelemahannya ringan, tidak terlalu parah seperti lemah sekali, maudhu’, apalagi tidak ada asalnya.
b.Orang yang mengamalkannya mengetahui bahwa itu adalah hadits yang lemah dan tidak berkeyakinan bahwa itu adalah dari Rosululloh Shallallahu Alaihi Wasallam.
c. Hadits lemah tersebut didasari oleh dalil shohih yang bersifat global.[20]
c. Hadits lemah tersebut didasari oleh dalil shohih yang bersifat global.[20]
Sekalipun pendapat yang kuat menurut kami bahwa tidak boleh berhujjah dengan hadits-hadits lemah baik dalam fadho’il amal maupun hukum karena semuanya adalah sama-sama syari’at agama. Cukuplah kita dengan dalil-dalil yang shohih. Dahulu, para ulama kita mengatakan:
في صحيح الحديث شغل عن سقيمه
Dalam hadits yang shohih itu terdapat kesibukan dari hadits yang lemah.[21]
9. TANDA-TANDA HADITS PALSU
Ketahuilah bahwa hadits yang munkar dan palsu membuat hati penuntut ilmu hati merasa geli dan mengingkarinya. Robi’ bin Hutsaim berkata:
إن للحديث ضوءاً كضوء النهار تعرفه وظلمة كظلمة الليل تنكره
Sesungguhnya hadits itu memiliki cahaya seperti cahaya di siang hari sehingga engkau dapat melihatnya. Dan memiliki kegelapan seperti gelapnya malam sehingga engkau mengingkarinya.[22]
Perlu diketahui bahwa hadits palsu itu memiliki beberapa tanda secara umum:
a. Ucapan tersebut tidak menyerupai ucapan para Nabi.
b. Ucapan tersebut lebih menyerupai ucapan ahli pengobatan atau ahli thoriqot sufi.
c. Bertentangan dengan kaidah-kaidah umum yang paten dalam agama Islam.
d. Makna yang terkandung dalam hadits tersebut lucu.[23]
e. Tidak adanya hadits tersebut dalam kitab-kitab hadits yang penting seperti kitab-kitab sunan dan musnad.[24]
b. Ucapan tersebut lebih menyerupai ucapan ahli pengobatan atau ahli thoriqot sufi.
c. Bertentangan dengan kaidah-kaidah umum yang paten dalam agama Islam.
d. Makna yang terkandung dalam hadits tersebut lucu.[23]
e. Tidak adanya hadits tersebut dalam kitab-kitab hadits yang penting seperti kitab-kitab sunan dan musnad.[24]
10. KEMBALI KEPADA KEBENARAN
Wahai saudaraku —semoga Alloh Subhanahu Wa Ta’ala memberkahimu—, tinggalkanlah segala kesombongan dan jadilah dirimu pecinta kebenaran. Bila memang dirimu pernah berpedoman pada hadits-hadits lemah dan palsu dan engkau pernah menjadi pembelanya, lalu Alloh Subhanahu Wa Ta’ala memberikan petunjuk keadaanmu, maka janganlah segan-segan dirimu memeluk kebenaran dan meninggalkan keyakinanmu yang dulu sekalipun mungkin telah mengakar dalam hatimu.
Menakjubkanku kisah Ibnul Jauzi Rahimahullah tatkala dia mengamalkan sebagian hadits tentang dzikir setelah sholat, beliau berkata: “Dahulu saya telah mendengar hadits ini sejak kecil, saya pun mengamalkannya kurang lebih tiga puluh tahun lamanya karena saya meyangka baik kepada para perowi. Namun tatkala saya mengetahui bahwa haditsnya adalah maudhu’/ palsu maka saya pun meninggalkannya. Ada seorang pernah berkata kepadaku: Bukankah itu mengamalkan suatu kebaikan?!’ Saya menjawab: `Mengamalkan kebaikan itu harus disyari’atkan, kalau kita tahu bahwa itu adalah dusta maka berarti keluar dari perkara yang disyari’atkan:”[25]
Sumber: Majalah al Furqan edisi 2 tahun ketujuh 1428 (2007) hal. 71-74 melalui https://amaz95.wordpress.com/2011/02/27/10-faedah-tentang-ilmu-hadits/
[1] Dinukil dari muqoddimah buku “Mengkritisi Hadits-hadits Populer”oleh penulis. Semoga Alloh Subhanahu Wa Ta’ala memudahkan penerbitannya. (Sekarang buku tersebut telah terbit, Walhamdulillah, -ed.)
[2] Lihat at-Ta’shil li Ushul Takhrij wa Qowaid Jarh waTa’dil, Bakr Abu Zaid 1/5-7
[3] Muslim dalam Muqoddimah Shohihnya 1/12
[4] Al-Majruhin, Ibnu Hibban 1/27
[5] Tadribur Rowi, as-Suyuthi 3/794
[6] Syarh Shohih Muslim, an-Nawawi 1/108
[7] Al-Baits ‘Ala Inkaril Bida’ wal Hawadits hal. 54
[8] Tamamul Minnah hal. 33
[9] Al-Fatawa al-Haditsiyyah hal. 63
[10] Dzammu al-Kalam (4/68)
[11] Silsilah Ahadits adh-Dho’ifah (2/ 109)
[12] Silsilah Ahadits adh-Dho’ifah 2/36-37
[13] AI-Ibtihaj bi Adzkaril Musafir wal Haj hal. 39
[14] Silsilah Ahadits adh-Dho’ifah 2/ 108-109
[15] Tuhfah Dzakirin hal. 140
[16] Kasyful Khofa I /9
[17] Silsilah Ahadits adh-Dho’ifah 1/145
[18] Nuzhoh Nazhor fi Taudhih Nukhbah Fikar hal. 63-64
[19] Majmu’ Fatawa 6/409-410
[20] Lihat Tabyin ‘Ajab, Ibnu Hajar hal. 3-4
[21] AI-Jami’ Ii Akhlak Rowi wa Adabis Sami’ 1524, al-Khothib al-Baghdadi
[22] AI-Kifayah fi Ilmi Riwayah, al-Khothib al-Baghdadi hal. 605, al-Maudhu’at, Ibnul Jauzi 1/147
[23] Lihat al-Manar al-Munif, Ibnu Qoyyim hal. 50-102
[24] Tahdzir Sajid, al-Albani hal. 75
[25] Al-Maudhu’at 1/245