Dakwah dan Perubahan Sikap,-Sebelum membicarakan persyaratan dakwah sebagai kumunikasi persuasif ada baiknya diketahui arti dari kata ”sikap”. Sikap adalah suatu kesiapan kegiatan (Preparatory Activity), suatu kecenderungan dari seseorang untuk melakukan suatu kegiatan menuju atau menjauhi nilai-nilai sosial.[1] Dalam hal ini kecenderungan untuk menuju atau menjauhi tertuju pada mad’u. Sikap juga bisa positif juga bisa negatif. Sikap positif pada mad’u adalah mendekat, menyenangi dan mengharapkan terhadap objek tertentu (instrumen dakwah), sedangkan sikap negatif kecenderungan mad’u adalah menjauhi, menghindar, membenci dan tidak menyukai objek-objek tertentu (instrumen dakwah).[2] mad'u sendiri merupakan unsur terpenting dalam dakwah islam. karena mad'u merupakan tolak ukur keberhasilan dakwah kita apakah terdapat perbahan sikap ataukah tidak?. untuk mengetahui mad'u maka perlu memperhatikan pengertian dakwah ditinjau dari aspek mad'u sendiri.
Sikap tidak berdiri sendiri tetapi mempunyai objek, dan tidak ada sikap yang tidak ditujukan pada objek. Sikap tidak dibawa sejak lahir tetapi merupakan respons yang diberikan berulang-ulang terhadap stimulus yang sama sehingga menjadi kebiasaan pikiran setiap kali menjumpai stimulus. Jadi sikap terbentuk melalui interaksi sosial atau proses belajar yang terjadi pada tiap-tiap individu atau oleh pengalaman yang ditempuh seseorang sepanjang hidupnya.[3] Lebih lanjut, Jalaluddin Rakhmat mengatakan bahwa bukan dakwah kalau tidak bisa merubah sikap dari yang tidak baik kepada kebaikan. Jadi dakwah dikatakan berhasil jika dapat merubah sikap manusia kepada sikap yang berlandaskan jalan Tuhan.
Sebuah contoh pengaruh sikap dakwah yang terdapat dalam al-Qur’an adalah adanya sikap kaum Ad’ terhadap nabi-nabi utusan Allah yang terdapat dalam surat Hud ayat 59. Dalam ayat tersebut diterangkan kaum Ad’ memiliki sikap mengingkari tanda-tanda kekuasaan Allah karena mereka telah hidup dalam waktu yang lama dibawah pengaruh raja-raja yang memiliki sikap menentang kepada kebenaran.[4] Sehingga sikap itu telah menjadi sikap sosial. Oleh karena itu untuk keberhasilan dakwah dalam merubah sikap dari yang keliru untuk kemudian berpindah pada sikap yang benar yang diridloi Allah bisa dilakukan jika:
1. Mad’u telah mencapai tingkat tertentu, yakni mata hati atau nuraninya dapat melihat secara jernih duduk soal suatu masalah. Mad’u yang sudah sampai pada tingkat ini, dadanya (qalb-nya) luas dan longgar sehingga cukup untuk menampung, mengolah, dan memutuskan sesuatu di bawah panduan cahaya ketuhanan
2. Perasaan tertekan atau ketakutan atas stimulus yang berkaitan dengan sikap lama telah hilang dari mad’u
3. Jikap sikap baru itu dirasakan oleh mad’u lebih menjanjikan keuntungan dibanding sikap lama yang mulai dirasakan kekeliruannya
4. Jika mad’u lebih banyak melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak ada kaitannya dengan sikap lama.[5]
[1] Onong Uchajana, Dimensi Komunikasi (Bandung: Rosda, 2004), hal. 37.
[2] Sarlito W. Sarwono, Pengantar Umum Psikologi (Jakarta: Bulan Bintang, 1976) hal. 93-97.
[3] Mubarok, Jiwa dalam al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 2000), hal. 203.
[4] Hal-hal yang menyebabkan mereka bersikukuh dalam sikap lama itu diterangkan oleh surat al-Kahfi ayat 5 yang menerangkan dengan jelas bahwa orang yang telah lama mengambil sikap kepada sesuatu menyebabkan ia tidak mampu melihat secara cermat kelemahan dari sikapnya itu. Mereka membela mati-matian sikapnya yang lama meskipun tidak logis. Sementara karena hatinya hatinya buta dan telinganya tuli maka mereka tidak bisa menganalisis hujjah-hujjah dan argumen yang mendukung sikap baru, meskipun sikap baru itu jelas logis. Sikap yang telah mengental seperti yang telah dimilki kaum Ad’ itu dapat mendorong orang pada sikap fanatik buta terhadap hal-hal yang telah lama dibela dan apriori terhadap hal-hal baru yang yang berbeda dengan hal-hal yang telah lama dianutnya. Orang yang telah memiliki sikap yang kuat terhadap suatu hal, maka ia tidak mampu bersikap kritis terhadap apa yang diyakininya, sehingga orang tersebut seakan pemikiranya telah beku.
[5] Mubarok, Op.,cit., hal. 214.