Etika dalam Menjalankan Puasa Ramadhan,- Di antara etika puasa itu ada yang wajib dan ada pula yang sunnah, yang di antaranya adalah: Berupaya sedapat mungkin untuk sahur dan menundanya hingga di pengujung waktunya. Rasulullah r bersabda: “Makan sahurlah kamu, karena sahur itu mengandung berkah.”(18) Jadi, sahur adalah makanan yang penuh dengan berkah dan sekaligus menyalahi kebiasaan Ahlul Kitab. Dan sebaik-baik makanan sahur adalah kurma.(19)
Etikan Berpuasa yang kedua adalah Segera berbuka (bila telah sampai waktunya), karena Rasulullah bersabda: “Orang-orang akan masih mendapat kebajikan selagi mereka segera berbuka.”(20) Dan ifthar (berbuka) dengan memakan beberapa buah ruthab (kurma basah) sebagaimana disebutkan di dalam hadits Anas ia menuturkan: “Rasulullah itu biasanya berbuka sebelum melakukan shalat dengan makan beberapa ruthab, dan jika tidak ada ruthab maka kurma kering, dan jika tidak ada kurma kering, maka beliau meneguk beberapa teguk air minum.” (21) Dan sesudah ifthar hendaknya mengucapkan bacaan seperti yang disebutkan di dalam hadits Ibnu Umar t bahwasanya Nabi r apabila telah berbuka mengucapkan: “Hilanglah dahaga, urat-uratpun menjadi basah dan pahala pun pasti –insya Allah I.”(22)
Selanjutnya dalam menjalankan ibadah puasa hendaklah ia Menghindari rafats, karena Rasulullah r bersabda: “… Apabila pada hari seseorang diantara kamu berpuasa, maka janganlah ia berbuat rafats ….” (23)
Rafats adalah jatuh di dalam perbuatan maksiat. Nabi r juga bersabda: “Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan tetap melakukannya, maka Allah I tidak akan menghiraukan orang itu meninggalkan makanan dan minumannya (berpuasa).”(24)
Dan hendaklah orang yang berpuasa meninggalkan semua perbuatan haram, seperti menggunjing, perkataan jorok dan dusta, karena perbuatan haram tersebut dapat menghapus seluruh pahala puasanya; Rasulullah r telah bersabda: “Betapa banyak orang yang berpuasa, ia tidak mendapatkan apapun dari puasanya selain rasa lapar belaka.”(25)
Dan di antara hal yang dapat mengurangi pahala kebajikan dan mendatangkan dosa-dosa adalah sibuk dengan nonton perlombaan, film-film sinetron, pertandingan, nongkrong-nongkrong yang tidak berguna, mondar-mandir di jalan-jalan bersama-sama rekan-rekan buruk yang suka menyia-nyiakan waktu, mobil-mobilan, berdesak-desakan di trotoar dan lorong-lorong, Bermalas shalat malam, dzikir dan ibadah (baca: bulan puasa) –bagi kebanyakan orang)- menjadi bulan ramadhan menjadi bulan tidur di siang hari agar tidak merasa lapar yang menyebabkan terabaikannya shalat wajib dan shalat berjama`ah; kemudian di malam hari yang ada hanya senda-gurau dan tengggelam di dalam lembah nafsu syahwat, bahkan sebagian mereka ada yang menyambut bulan suci Ramadhan dengan keluh-kesah karena akan kehilangan berbagai kelezatan, dan sebagian lagi ada yang bepergian di bulan Ramadhan ke negeri orang-orang kafir untuk menikmati liburan panjangnya!! Dan yang lebih fatal lagi adalah banyaknya kemunkaran terjadi di masjid, seperti banyaknya wanita yang datang ke masjid dengan tabarruj (perhiasan dan dandanan kecantikan) dan parfum, bahkan Baitullah pun tidak luput dari bencana ini.
Sebagian di antara mereka ada yang menjadikan bulan suci Ramadhan sebagai musim untuk berleha-leha, tidak butuh kepadanya; dan sebagian lagi ada yang bermain dengan sesuatu yang membahayakan seperti petasan dan kembang api; ada juga yang sibuk bertransaksi di pasar dan shoping di swalayan dan super market; dan ada pula wanita-wanita yang sibuk dengan menjahit pakaian dan mengumpulkan berbagai mode pakaian serta mengolek-sinya pada sepuluh hari terakhir di bulan suci Ramadhan yang merupakan hari-hari kemuliaan ramadhan, hingga membuat banyak orang lalai dan tidak sempat untuk meraih pahala dan kebajikan.
Hendaknya tidak teriak-teriak, karena Rasulullah bersabda: “Dan jika ada seseorang yang menyerangnya atau memakinya, maka hendaklah ia (orang sedang berpuasa) mengatakan: Aku sedang berpuasa, aku sedang berpuasa.”(26)
Yang pertama (ungkapan: Aku sedang berpuasa) sebagai teguran bagi dirinya sendiri dan yang kedua sebagai teguran bagi lawannya. Orang yang memperhatikan kepada moralitas kebanyakan orang-orang yang berpuasa akan menemukan lawan dari akhlak mulia di atas. Maka wajib (bagi kita) mengendalikan nafsu dan selalu menjaga ketenangan. Namun yang anda lihat adalah sebaliknya, banyak para sopir yang melintas cepat (dengan mobilnya) di waktu azan Maghrib berkumandang.
Etika puasa selanjtnya adalah Tidak terlalu banyak makan, karena hadits mengatakan: ”Tiada bejana yang dipenuhi oleh manusia yang lebih buruk daripada perutnya ….”(27)
Hanyalah orang yang berakal yang makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan, dan sebaik-baik makanan adalah yang membantu dan seburuk-buruknya adalah yang menyibukkan. Betapa banyak manusia yang tenggelam di dalam pembuatan berbagai macam makanan, hingga menyita banyak waktu kaum ibu di rumah dan para pembantu sampai membuat mereka lalai beribadah, bahkan uang yang dihabiskan untuk membeli bahan-bahan makanan jauh lebih besar daripada biasanya, dengan demikian bulan puasa menjadi bulan memupuk lemak dan berbagai penyakit pencernaan, makan bagaikan orang yang tidak pernah makan dan minum seperti orang yang tidak pernah minum, lalu apabila bangkit untuk shalat lail/tarawih kemalasan pun menyelimutinya, sampai ada sebagian mereka yang meninggalkan shalat tarawih pada raka`at yang pertama.
Mendermakan ilmu, harta, kemuliaan, badan dan akhlak. Di dalam Shahih Al-Bukhari-Muslim diriwayatkan dari Ibnu Abbas t ia berkata: “Rasulullah r itu merupakan manusia yang paling dermawan (dengan kebaikan), dan lebih dermawan lagi apabila dibulan Ramadhan ketika beliau ditemui oleh Jibril u; Jibril biasanya menemui Nabi pada setiap malam di bulan Ramadhan, di situlah Jibril u mentadaruskan Al-Qur'an kepada beliau. Sungguh, Nabi lebih dermawan dengan kebaikan daripada angin yang bertiup kencang.”(28)
Memadukan puasa dan memberikan makanan itu merupakan faktor yang menyebabkan pelakunya masuk surga, sebagaimana disabdakan oleh baginda Rasulullah: “Sesungguhnya di surga itu ada kamar-kamar yang luarnya terlihat dari dalam, dan bagian dalam tampak dari luar, yang disediakan oleh Allah I bagi orang yang memberikan makanan, memperlembut pembicaraan, menyambung puasa (Ramadhan dengan puasa enam hari Syawal. pent) dan shalat di malam hari di waktu manusia sedang istirahat.”(29)
Dan sabda beliau: “Barangsiapa yang memberi buka puasa kepada seorang yang berpuasa, maka ia memperoleh sebesar pahalanya dengan tidak berkurang sedikitpun pahala orang yang berpuasa itu.”(30)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan: “Yang dimaksud memberinya makanan untuk berbuka puasa adalah sampai orang itu kenyang.”(31)
Para kaum salaf banyak yang lebih mementingkan kaum fakir miskin dari pada diri mereka sendiri dengan memberikan persediaan buka puasa yang mereka miliki kepada mereka. Seperti Abdullah bin Umar, Malik bin Dinar, Ahmad bin Hanbal dan lain-lain. Dan Abdullah bin Umar tidak berbuka puasa kecuali bersama anak-anak yatim dan orang-orang miskin. wallahu a'lam bisshowab (Dikutib dan diselaraskan kembali dari risalah puasa Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid)
(18) Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Al-Fath, 4/139.
(19) Diriwayatkan oleh Abu Daud, no. 2345, disebutkan dalam Shahihut Targhib, 1/448.
(20) Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Al-Fath, 4/198.
(21) Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, 3/79 dan lainnya, ia mengatakan: Hadits hasan gharib. Ia men-shahih-kannya dalam Al-Irwa' dengan no. 922.
(22) Diriwayatkan oleh Abu Daud, 2/765. Isnadnya dihasankan oleh Ad-Daruquthni, 2/185.
(23) Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Al-Fath, no. 1904.
(24) Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Al-Fath, no. 1903.
(25) Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, 1/539, disebutkan dalam Shahihut Targhib, 1/453.
(26) Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Al-Fath, no. 1894.
(27) Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, no. 2380, ia mengatakan: Hadits hasan shahih.
(28) Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Al-Fath, no. 6.
(29) Diriwayatkan oleh Ahmad, 5/343 dan Ibnu Majah no. 2137. Dalam komentarnya Al-Albani mengatakan: Isnadnya hasan li ghairihi.
(30) Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi 3/171, disebutkan dalam Shahihut Targhib, 1/451.
(31) Al-Ikhtibarat Al-Fiqhiyyah, h. 109.