(Diringkas oleh: Drs. Marsudi Iman, M.Ag, dari berbagai literatur, dan ditulis kembali dengan berbagai penyelarasan oleh: Muhsin Hariyanto untuk kepentingan Dakwah)
Fiqih Qurban ternyata -- hingga saat ini – masih menyisakan beberapa pesoalan. Berikut ini, penulis sampaikan beberapa persoalan Ibadah Qurban yang masih menjadi perbincangan di kalangan umat Islam.
A. Seekor Kambing Pahalanya Untuk Seluruh Keluarga
Seekor kambing cukup untuk qurban satu keluarga, dan pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga meskipun jumlahnya banyak. Sebagaimana hadits Abu Ayyub radhiyallâhu ’anhu yang mengatakan, “Pada masa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan keluarganya.” (HR at-Tirmidzi dan beliau menilainya shahih, lihat: Minhâjul Muslim, hadits no. 264 dan 266).
Oleh karena itu, tidak selayaknya seseorang mengkhususkan qurban untuk salah satu anggota keluarganya tertentu, misalnya kambing 1 untuk anak si A, kambing 2 untuk anak si B, karunia dan kemurahan Allah sangat luas maka tidak perlu dibatasi.
Bahkan Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam berqurban untuk dirinya dan seluruh umatnya. Suatu ketika beliau hendak menyembelih kambing qurban. Sebelum menyembelih beliau mengatakan:”Yaa Allah ini – qurban – dariku dan dari umatku yang tidak berqurban.” (HR Abu Dawud no. 2810 dan al-Hakim 4/229 dan dishahihkan)
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam kitab Al-Irwâ’ 4/349) menyatakan bahwa, berdasarkan hadis ini Syaikh Ali bin Hasan al-Halabiy mengatakan: “Kaum muslimin yang tidak mampu berqurban, mendapatkan pahala sebagaimana orang berqurban dari umat Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam.”
Adapun yang dimaksud: “…kambing hanya boleh untuk satu orang, sapi untuk tujuh orang, dan onta 10 orang…” adalah biaya pengadaannya. Biaya pengadaan kambing hanya boleh dari satu orang, biaya pengadaan sapi hanya boleh dari maksimal tujuh orang dan seterusnya.
B. Memberikan Daging Qurban Kepada Panitia dan Jagal Sebagai Upah
Daging qurban itu dibagi untuk tiga mustahiq qurban, yaitu: ( 1) untuk di makan oleh shâhibul qurbân, ( 2 ) untuk disedekahkan kepada para faskir-miskin , dan ( 3) untuk dihadiahkan kepada para sahabat, kolega dan kenalan. Hal ini berdasar firman Allah dalam QS al–Hajj [22]: 36,
وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُم مِّن شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ
كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan telah kami jadikan untuk kamu onta-onta itu sebahagian dari syi'ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah kami telah menundukkan onta-onta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur.”
Pada prinsipnya, qurban itu hendaknya dilakukan sendiri oleh shâhibul qurbân, namun jika tidak bisa atau ingin menyerahkan kepada orang lain, maka hal itu juga dibenarkan. Namun demikian, jika melihat hadits-hadits Nabi s.a.w. tentang pelaksanaan qurban, maka tidak dijumpai adanya kepanitiaan secara khusus. Berbeda halnya dengan masalah zakat yang secara tegas disebutkan adanya panitia zakat (Amil Zakat) sebagaimana yang termaktub dalam QS at-Taubah [9]: 60.
Tetapi, dalam rangka efektivitas dan efisiensi pelaksanaan qurban, lembaga kepanitiaan tersebut boleh saja diadakan. Tentang larangan memberikan daging atau kulit kepada panitia atau jagal sebagai upah dapat difahami dari hadits Nabi s.a.w. sebagai berikut:
أَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهُ أَنْ يَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَمَرَهُ أَنْ يَقْسِمَ بُدْنَهُ كُلَّهَا لُحُومَهَا وَجُلُودَهَا وَجِلَالَهَا
فِي الْمَسَاكِينِ وَلَا يُعْطِيَ فِي جِزَارَتِهَا مِنْهَا شَيْئًا (رواه البخارى و مسلم)
“Sesungguhnya Ali bin Abi Thalib ra menceritakan; bahwa Nabi s.a.w. memerintahkan agar ia melaksanakan qurban Nabi s.a.w. dan memerintahkan pula agar ia membagikan semua daging, kulit dan pakaiannya pada orang-orang miskin dan tidak memberikan sedikitpun dari hewan qurban kepada penjagal (sebagai upah).” (HR Bukhari dan Muslim)
Jelaslah bahwa dalam penyelenggaraan penyembelihan hewan qurban dapat dilaksanakan oleh sebuah kepanitiaan, tetapi kedudukan mereka berbeda dengan amil dalam penyelenggaraan zakat. Karenanya, sebagai panitia, mereka tidak berhak menerima upah dari hewan qurban. Tetapi sebagai individu, mereka berhak mendapatkan bagian sebagaimana mustahiq pada umumnya.
Begitu pula halnya dengan tukang jagal, mereka tidak boleh menerima bagian dari hewan qurban sebagai upah. Namun boleh mendapatkan upah dari sumber lain, seperti beaya operasional, diambil dari daging bagian shâhibul qurbân yang besarnya 1/3 dan lain sebagainya. Tukang jagal boleh menerima daging qurban dalam kapasitasnya sebagai mustahiq, dan bukan sebagai upah.
Dalam hadits Nabi s.a.w. ditegaskan:
عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ: أَمَرَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَقْسِمَ لُحُومَهَا وَجِلاَلَهَا عَلَى الْمَسََاكِيْنِ، وَلاَ أُعْطِيَ فِي جِزَارَتِهَا شَيْئاً مِنْهَا (متفق عليه)
“Dari Ali bin Abi Thalib ra. Ia berkata: “Rasulullah s.a.w. memerintahkan kepada saya agar saya mengurus onta qurban beliau, membagikan dagingnya, kulitnya dan barang-barang yang merupakan pakaian onta itu kepada orang-orang miskin, dan saya tidak menerima upah sembelihan dari padanya.” (HR Bukhari dan Muslim)
عَنْ عَلِىٍّ - رضى الله عنه - قَالَ أَمَرَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَقْسِمَ جُلُودَهَا وَجِلاَلَهَا وَأَمَرَنِى أَنْ لاَ أُعْطِىَ الْجَزَّارَ مِنْهَا شَيْئًا وَقَالَ « نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا ». (رواه أبو داود)
"Dari Ali r.a. berkata: “Bahwa Rasulullah s.a.w. memerintahkan kepadaku agar membantu (mengurus) hewan-hewan qurbannya dan membagikan keseluruhan daging, kulit dan pakaiannya dan Nabi-pun memerintahkan agar saya tidak memberikan sedikitpun (dari hewan qurban) dalam pekerjaan jagal. Ali berkata; kami memberi upah kepada jagal dari harta kami sendiri.” (HR Abu Dawud)
أَنَّ عَلِىَّ بْنَ أَبِى طَالِبٍ أَخْبَرَهُ. أَنَّ نَبِىَّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَمَرَهُ أَنْ يَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَمَرَهُ أَنْ يَقْسِمَ بُدْنَهُ كُلَّهَا لُحُومَهَا وَجُلُودَهَا وَجِلاَلَهَا فِى الْمَسَاكِينِ وَلاَ يُعْطِىَ فِى جِزَارَتِهَا مِنْهَا شَيْئًا. (رواه البخارى ومسلم)
“Sesungguhnya Ali bin Abi Thalib ra menceritakan; bahwa Nabi s.a.w. memerintahkan agar ia melaksanakan qurban Nabi dan memerintahkan pula agar ia membagikan semua daging, kulit dan pakaiannya pada orang-orang miskin dan tidak memberikan sedikitpun dari hewan qurban kepada penjagal (sebagai upah).” (HR Bukhari dan Muslim)
C. Menjual Kulit dan Daging Qurban
Dalam hal ini ada beberapa persoalan yang perlu diperhatikan:
1. Shâhibul qurbân (orang yang berqurban) boleh memanfaatkan kulit hewan qurban.
2. Shâhibul qurbân tidak boleh menjual daging dan kulit hewan qurban.
3. Shâhibul qurbân tidak boleh menukarkan kulit hewan qurban dengan yang lainnya, seperti daging dan lainnya. Ketentuan ketiga hal tersebut di atas berdasarkan hadits:
قَالَ سُلَيْمَانُ بْنُ مُوسَى : أَخْبَرَنِي زُبَيْدٌ ، أَنَّ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ ، أَتَى أَهْلَهُ فَوَجَدَ قَصْعَةً مِنْ قَدِيدِ الأَضْحَى ، فَأَبَى أَنْ يَأْكُلَهُ ، فَأَتَى قَتَادَةَ بْنَ النُّعْمَانِ فَأَخْبَرَهُ : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ فَقَالَ: إِنِّي كُنْتُ أَمَرْتُكُمْ أَنْ لاَ تَأْكُلُوا الأَضَاحِيَّ ، فَوْقَ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ لِتَسَعَكُمْ ، وَإِنِّي أُحِلُّهُ لَكُمْ ، فَكُلُوا مِنْهُ مَا شِئْتُمْ ، وَلاَ تَبِيعُوا لُحُومَ الْهَدْيِ ، وَالأَضَاحِيِّ فَكُلُوا ، وَتَصَدَّقُوا ، وَاسْتَمْتِعُوا بِجُلُودِهَا ، وَلاَ تَبِيعُوهَا ، وَإِنْ أُطْعِمْتُمْ مِنْ لَحْمِهَا ، فَكُلُوا إِنْ شِئْتُمْ. قَالَ حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ نَحْوَ حَدِيثِ زُبَيْدٍ هَذَا عَنْ أَبِي سَعِيدٍ لَمْ يَبْلُغْهُ كُلُّ ذَلِكَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (رواه أحمد)
“Sulaiman bin Musa berkata; telah mengabarkan kepadaku Zubaid, Abu Sa'id al-Khudriy menemui keluarganya lalu mendapati periuk (yang bisa memuat sepuluh orang) yang berisi daging hewan kurban, dan dia menolak memakannya. Selanjutnya dia menemui Qatadah bin Nu'man, lalu dia mengabarkan kepada (Abu Sa'id a-Khudriy), Nabi shallallâhu'alaihi wa sallam berdiri (pada Hari Haji) dan bersabda: "Aku dahulu memerintahkan kalian untuk tidak memakan sembelihan kurban di atas tiga hari untuk mencukupkan kalian. Sekarang saya halalkan untuk kalian, makanlah kalian terserah kalian. Janganlah kalian menjual daging Hadyu (daging yang disembelih Jamaah Haji waktu pelaksanaan ibadah), tetapi (saat ini) makanlah, bersedekahlah dan nikmatilah dengan kulitnya dan jangan kalian menjualnya. Jika kalian diberi makan dengan daging tersebut maka makanlah sekehendak hati kalian." (Zubaid) berkata dalam hadits ini, dari Abu Sa'id dari Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam, Namun sekarang makanlah, juallah dan simpanlah kalian. (Ahmad bin Hanbal) berkata; telah menceritakan kepada kami Hajjaj dari Ibnu Juraij berkata; telah mengabarkan kepadaku Abu Az-Zubair dari Jabir sebagaimana hadis Zubaid ini, dari Abu Sa'id tidak sampai kepadanya, semuanya (hal itu) dari Nabi shallallâhu'alaihi wa sallam.” (HR Ahmad)
أَنَّ عَلِىَّ بْنَ أَبِى طَالِبٍ أَخْبَرَهُ. أَنَّ نَبِىَّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَمَرَهُ أَنْ يَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَمَرَهُ أَنْ يَقْسِمَ بُدْنَهُ كُلَّهَا لُحُومَهَا وَجُلُودَهَا وَجِلاَلَهَا فِى الْمَسَاكِينِ وَلاَ يُعْطِىَ فِى جِزَارَتِهَا مِنْهَا شَيْئًا. (رواه البخارى ومسلم)
“Sesungguhnya Ali bin Abi Thalib ra menceritakan; bahwa Nabi s.a.w. memerintahkan agar ia melaksanakan qurban Nabi dan memerintahkan pula agar ia membagikan semua daging, kulit dan pakaiannya pada orang-orang miskin dan tidak memberikan sedikitpun dari hewan qurban kepada penjagal (sebagai upah).” (HR Bukhari dan Muslim)
Adapun untuk orang yang diberi daging qurban atau bagian lainnya seperti kulit (mustahiq qurban), tidak ada larangan baginya untuk menjualnya. Panitia qurban juga dilarang untuk menjual daging atau bagian lainnya dari hewan qurban termasuk kulit apabila penjualan tersebut bukan untuk mewakili orang yang mendapat sedekah/pemberian (mustahiq qurban). Jadi panitia dilarang menjual kulit qurban untuk kepentingan upah, konsumsi panitia dan untuk membeli plastik. Upah, konsumsi panitia dan plastik hendaknya dimintakan kepada shahibul qurban. Akan tetapi apabila panitia qurban itu menjual daging atau bagian lainnya seperti kulit untuk mewakili kepentingan orang yang menerima pemberian (mustahiq qurban) disebabkan mustahiq qurban kesulitan memanfaatkan kulit atau kesulitan mengolahnya, lalu kulitnya dijual dan ditukar dengan daging, maka hal tersebut tidaklah dilarang.
D. Berqurban Dengan Cara Arisan, Urunan dan Patungan
Berqurban dari hasil arisan pada dasarnya tidak dilarang. Hanya saja bagi anggota arisan yang telah berqurban tetap mempunyai kewajiban membayar arisan bagi anggota lainnya. Sedangkan qurban dengan cara urunan (patungan) dianggap sebagai bentuk latihan berqurban, yang bernilai shadaqah. Mereka dapat dikategorikan sebagai orang yang belum mampu dan baru dianggap latihan berqurban.
Namun jika tujuh orang mengumpulkan sejumlah uang guna membeli seekor onta atau sapi untuk disembelih sebagai hewan qurban, maka hal ini telah memenuhi kreteria seperti yang dijelaskan oleh hadits Nabi s.a.w.:
عَنْ جَابِرِبْنِ عَبْدِ اللهِ أَنَّهُ قَالَ نَحَرْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِاْلحُدَيْبَةَ اْلبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍٍ وَ الْبَقَرَةُ عَنْ سَبْعَةٍ (رواه مسلم)
"Dari Jabir bin Abdillah ia berkata: ”Kami menyembelih hewan qurban bersama Rasulullah s.a.w.. di Hudaibiyah. Seekor onta untuk tujuh orang dan seekor sapi untuk tujuh orang.” (HR Muslim).
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كُنَّا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلّى الله عليه وسلّم فِى سَفَرٍ فَحَضَرَ النَحْرُ فَاشْتَرَكْنَا فِى الْبَعِيْرِ عَنْ عَشْرَةٍ وَالْبَقَرِةِ عَنْ سَبْعَة (رواه النسائى والترمذى وابن ماجه)
“Dari Ibnu Abbas ia berkata: ”Kami melakukan perjalanan bersama Rasulullah s.a.w.. kemudian hari Nahar (Idul Adha) tiba, maka kami bersama-sama melakukan qurban sepuluh orang untuk seekor onta dan tujuh orang untuk seekor sapi.” (HR an-Nasa’i, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
E. Berqurban Untuk Orang Yang Sudah Meninggal Dunia
Berqurban pada dasarnya disyariatkan hanya untuk yang hidup sebab tidak terdapat riwayat dari Rasulullah s.a.w., tidak pula dari para sahabat yang menerangkan bahwa mereka berqurban untuk orang-orang yang sudah meninggal secara khusus, kecuali (1) karena ada wasiat dari si mayit semasa hidupnya; (2) karena ketika masih hidup pernah bernadzar akan berqurban.
Putera-puteri Rasulullah s.a.w. telah meninggal saat beliau masih hidup, demikian pula telah meninggal isteri-isteri dan kerabat-kerabatnya dan Rasulullah tidak berqurban untuk satu orangpun dari mereka. Beliau tidak berqurban untuk pamannya (Hamzah), tidak juga untuk isterinya (Khadijah dan Zainab binti Khuzaimah), tidak pula untuk ketiga puterinya, dan seluruh anak-anaknya.
Seandainya ini termasuk perkara yang disyariatkan, niscaya Rasulullah s.a.w. akan menerangkannya dalam sunnahnya baik itu ucapan maupun perbuatan.
F. Menyatukan Qurban dengan Aqiqah
Tidak ada nash yang memperbolehkan menyatukan qurban dan aqiqah dalam satu kesempatan dan dengan satu hewan. Karena keduanya mempunyai dasar hukum yang berbeda. Di antara perbedaan antara keduanya adalah: daging qurban dibagi dalam keadaan mentah sedangkan daging aqiqah dalam keadaan matang atau telah dimasak.
G. Menghadapkan Hewan ke Arah Kiblat
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ ذَبَحَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الذَّبْحِ كَبْشَيْنِ أَقْرَنَيْنِ أَمْلَحَيْنِ مُوجَأَيْنِ فَلَمَّا وَجَّهَهُمَا قَالَ إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ عَلَى مِلَّةِ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنْ الْمُشْرِكِينَ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنْ الْمُسْلِمِينَ اللَّهُمَّ مِنْكَ وَلَكَ وَعَنْ مُحَمَّدٍ وَأُمَّتِهِ بِاسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ ذَبَحَ (رواه أبو داود)
"Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: Pada hari qurban, Nabi s.a.w. menyembelih dua ekor domba bertanduk, putih mulus, dan telah dikebiri. Beliau menghadapkan keduanya (ke kiblat) dan berseru, "Sesungguhnya aku hadapkan wajahku pada dzat yang menciptakan langit dan bumi, di atas millah (agama) Ibrahim yang hanif (lurus), dan aku bukan termasuk orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan matiku, hanya untuk Allah Tuhan semesta alam yang tiada sekutu bagi-Nya. Dan demikianlah aku diperintah kan dan aku termasuk orang-orang muslim. Ya Allah, ini (qurban) dariku untuk-Mu atas nama Muhammad dan umatnya. Dengan menyebut nama Allah, Allah Maha Besar." Kemudian beliau langsung menyembelih." (HR Abu Dawud).
Diriwayatkan juga dari Nafi', bahwasannya Ibnu Umar menyembelih hewan qurbannya dengan tangannya sendiri. Ia bariskan hewan-hewan itu dengan posisi berdiri dan menghadapkan kepalanya ke arah kiblat. Kemudian dia makan dan memberikan sebagiannya (sebagai sedekah). Menghadapkan hewan sembelihan ke arah kiblat bukan merupakan syarat keabsahan, melainkan hanya sebuah keutamaan, yang oleh para ulama dinilai: “hukumnya sunnah”.