*Beliau ditanya tentang orang yang meninggal sebelum melunasi puasa wajibnya, bagaimana hukumnya?
Jawaban beliau: "Jika ia meninggal sebelum membayar puasa wajibnya, seperti orang yang meninggal dalam keadaan berhutang puasa Ramadhan, kemudian diberikan kepadanya kesehatan, namun dia belum sempat menunaikannya, maka waijb baginya memberi makan kepada satu orang miskin setiap hari sesuai dengan jumlah puasa yang ia tinggalkan. Menurut Ibnu Taimiyah, jika puasanya diwakili maka sah hukumnya, hal ini kuat sumber hukumnya.
Kondisi kedua: Ia meninggal sebelum dapat nenunaikan tanggungan hutangnya seperti sakit di bulan Ramadhan dan mati di pertengahannya, sedangkan ia tidak berpuasa karena sakit tersebut atau bahkan sakitnya berlangsung terus hingga ajalnya tiba. Hal ini tidak menjadikannya wajib membayar kaffarah meskipun kematiannya setelah rentang waktu yang cukup lama, karena ia tidak gegabah dan melalaikannya, demikian pula ia tidak meninggalkannya kecuali adanya udzur syar'i. (Lihat Al Irsyaadu Ilaa Ma'rifatil Ahkaam, hlm. 85-86.)
Dari Aisyah radhiallahu 'anha, bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Barangsiapa meninggal dunia sedangkan in punya ranggungan puasa, maka walinya boleh berpuasa menggantikannya. "(Muttafaq 'Alaih).
"Barangsiapa meninggal dunia sedangkan in punya ranggungan puasa, maka walinya boleh berpuasa menggantikannya. "(Muttafaq 'Alaih).
Hadits ini menunjukkan anjuran berpuasa kepada orang yang masih hidup untuk si mayit, dan bahwasanya jika seseorang meninggal dalam keadaan memiliki hutang puasa, maka boleh digantikan oleh walinya."
Imam Nawawi berkomentar: "Para ulama berbeda pendapat tentang mayit yang memiliki tanggungan puasa wajib; seperti puasa Ramadhan, qadha' dan nadzar ataupun yang lain. Apakah wajib diqadha untuknya?
Dalam masalah ini Imam Syafi'i memiliki dua pendapat, yang terpopuler adalah, Tidak wajib diganti puasanya, sebab puasa pengganti untuk si mayit pada asalnya tidak sah. Adapun pendapat kedua, 'Disunnahkan bagi walinya untuk berpuasa sebagai pengganti bagi si mayit, hingga si mayit terbebas dari tanggungannya dan tidak usah membayar kaffarah (memberi makan orang miskin sesuai dengan bilangan puasa yang ditinggalkannya). Pendapat inilah yang benar dan terbaik menurut keyakinan kami. Dan pendapat inipun dibenarkan oleh para penelaah madzhab kami -yang menghimpun dan menyatukan disiplin ilmu fiqh dan hadits- berdasarkan hadits-hadits shahih diatas. (Lihat Al Majmu'atul Jalilah, hlm. 158.) Wallahu A 'lam. "