Perang Misionaris Sepanjang Zaman

by Unknown , at 08.48 , has 0 komentar
Perang Misionaris Sepanjang Zaman,- Eropa memerangi dunia Islam dengan perang misionaris yang diatasnamakan ilmu. Untuk kesuksesan proyek ini mereka menyiapkan anggaran yang sangat besar. Dengan kata lain, mereka melancarkan perang kolonialisme melalui jalan misionaris dengan diatasnamakan ilmu dan kemanusiaan. Strategi ini dimaksudkan untuk mengokohkan jaringan pusat-pusat spionase politik dan penjajahan tsaqafah yang sudah mulai memusat di negeri-negeri daulah (propinsi yang memiliki otonomi kekuasaan). Operasi ini terus dilancarkan hingga pasukan pengintai kolonial Barat berhasil menduduki posisi kuat di garda depan. Dengan demikian, medan menjadi lapang bagi penjajah, pintu dunia Islam menjadi terbuka untuk serangan Barat, dan perguruan-perguruan misionaris tersebar luas di Negara Islam.

Sebagian besar perguruan tinggi milik Inggris, Perancis, dan Amerika. Pengaruh Perancis dan Inggris menyusup melalui pintu ini. Seiring dengan perjalanan waktu, sejumlah perguruan tinggi menjadi inspirator dan penggerak massa untuk gerakan-gerakan kesukuan. Perguruan-perguruan ini menjadi penentu kebijakan yang menggariskan arah tujuan hidup para pelajar muslim, atau menggiring gerakan kesukuan Arab dan Turki pada dua tujuan yang fundamental, yaitu: (i) memisahkan Arab dari Daulah 'Utsmani yang Islam sebagai upaya membunuh Negara Islam dengan menyebut Daulah 'Utsmani dengan nama Turki yang tujuannya untuk membangkitkan fanatisme kesukuan, (ii) menjauhkan kaum muslimin dari ikatan yang hakiki, yaitu ikatam Islam. Dari dua tujuan ini, tujuan pertama telah dihentikan, sementara tujuan yang kedua tetap dilanjutkan.

Oleh karena itu, pembentukan visi ini akan terus diarahkan pada fanatisme kesukuan, baik di Turki, Arab, Persi, maupun daerah-daerah Islam lainnya. Fanatisme inilah yang memecah belah kesatuan umat dan menjadikan mereka buta terhadap ideologi Islam. Sejumlah perguruan memerankan aneka macam peran dan pengaruhnya menyentuh dunia Islam. Di antara dampak-dampaknya bisa kita lihat pada kelemahan dan kemunduran umat. Karena misionaris merupakan batu pertama yang diletakkan oleh kolonialis untuk menutup celah yang terdapat di antara kita dan kebangkitan dan untuk mengubah hubungan dan keadaan antara kita dan mabda' kita, yaitu Islam. Adapun faktor yang memotivasi orang-orang Eropa membentuk perguruan-perguruan misionaris di dunia Islam adalah pengalaman mereka  di Perang Salib. Pengalaman-pengalaman itu memberi empati mereka bahwa kaum muslimin sangat keras dan tangguh di medan perang. Barat ketika berhadapan dengan kaum muslimin di medan peperangan berpedoman pada dua hal. Untuk mewujudkan kepentingan mereka yang paling besar, yaitu pelenyapan Islam dan kaum muslimin secara total, maka Barat menggantungkan pada dua hal itu. Perang Misionaris Sepanjang Zaman

Pertama, Barat menitikberatkan sandaran operasinya pada orang Kristen yang banyak tinggal di dunia Islam. Di Negara Islam jumlah pemeluk Nasrani memang banyak, khususnya di Syam. Orang-orang Kristen di sini kebanyakan memegang teguh agamanya. Karena itu, tidak heran jika Barat mengatagorikan mereka sebagai saudara seagama. Bahkan, Barat menduga bahwa mereka akan bisa diajak untuk menipudaya kaum muslimin dan menjalin konspirasi dengan mereka untuk dijadikan mata-mata Barat  terhadap kaum muslimin. Dengan alasan ini, maka mereka mudah diprovokasi untuk mengobarkan perang dengan alasan keagamaan.

Kedua, Barat mengandalkan jumlah populasi mereka yang banyak dan besarnya kekuatan mereka, di mana di waktu yang sama kaum muslimin terpecah-belah dan terbelakang. Kelemahan yang mulai menggerogoti kaum muslimin membuat Barat menduga bahwa jika mereka menghantam kaum muslimin dengan satu kali pukulan saja, niscaya mereka dapat menundukkan umat Islam selamanya dan akhirnya memudahkan mereka untuk melenyapkan umat dan agama mereka. Akan tetapi sayang, optimis Barat menemui kegagalan dan dugaannya tidak benar. Berapa banyak peristiwa besar yang menggoncang umat di tengah kancah peperangan, kaum Nasrani justru berdiri di samping mereka. Mereka tidak terpengaruh dengan slogan-slogan. Mereka justru berperang saling bahu-membahu dengan kaum muslimin untuk menghadapi musuh. Kenapa? Karena mereka hidup di Negara Islam dan di wilayah yang diterapkan sistem Islam kepada mereka. Mereka punya hak sebagaimana yang dimiliki kaum muslimin dan punya tanggung jawab sebagaimana yang dipikul kaum muslimin. Umat Islam memakan makanan kaum Nasrani. Pria muslim menikahi wanita Nasrani dan menjadi kerabat keluarganya. Mereka juga hidup bersama-sama di masyarakat daulah karena Islam mencakup dan menanggung semua hak mereka. Seorang Nasrani juga melakukan aktifitas yang perpihak pada para khalifah dan penguasa. Dia harus melakukan aktifitas dalam Negara Islam.

Ibnu Hazim mengatakan, "Di antara kewajiban menjaga ahli dzimmah kita (kafir dzimmi) jika para agresor menyerang negara kita dan mereka mengarahkan serangan pada tetangga-tetangga kita (kafir dzimmi), maka hendaknya kita mati membela mereka. Dan setiap pelanggaran dalam hal itu, termasuk penyia-nyiaan hak-hak ahlu dzimmah." Al-Qurafiy berkata, "Sesungguhnya di antara kewajiban tiap muslim terhadap kafir dzimmi adalah berbuat lembut pada kaum lemah mereka, menutup kebutuhan kefakiran mereka, memberi makan orang yang kelaparan dari kaum mereka, memberi pakaian kepada yang tidak memiliki pakaian di antara mereka, mengajak mereka bicara dengan kata-kata yang lembut, menanggung penderitaan tetangga dari mereka semampunya, bersikap lembut pada mereka, tidak menakut-nakuti juga tidak mengagungkan, ikhlas memberi nasihat mereka dalam semua urusan, menolak orang yang hendak menyerang dan menganggu mereka, dan menjaga harta, keluarga, kehormatan, dan seluruh hak dan kepentingan mereka. Hendaknya tiap muslim bekerja sama dengan mereka dalam setiap perbuatan yang baik dengan akhlak yang mulia pula." Semua ini menjadikan kaum Nasrani secara alami bahu-membahu dengan kaum muslimin untuk mempertahankan negara.

Keterkejutan Barat semakin besar ketika melihat target (hal) kedua tidak mewujudkan angan-angan mereka. Barat telah menguasai Syam dan menyerang kaum muslimin dengan sangat biadab dan memperlakukan mereka dengan sangat mengerikan. Penduduk Syam yang Kristen juga diusir bersama-sama  kaum muslimin dari rumah-rumah mereka. Karena itu, mereka berjalan bersama kaum muslimin di semua medan peperangan. Hal ini masih terus berlangsung hingga sekarang sebagaimana yang terjadi di Palestina. Barat menduga bahwa masalah kedua ini masih berjalan baik dan berpihak pada mereka. Barat juga menduga bahwa sudah tidak ada penopang yang menyangga kaum muslimin. Akan tetapi sayang, kaum muslimin masih tetap tuli atas peristiwa yang menimpa pengusiran  mereka dari negeri mereka, meski mereka sudah menetap di sana selama kurang lebih dua abad. Di Syam mereka sempat mendirikan keemiratan. Kaum muslimin pada akhirnya mampu mengalahkan kaum Salib dan mengusir mereka.

 Barat mengkaji rahasia semua persoalan ini dan akhirnya menemukannya di dalam Islam. Barat melihat bahwa akidah Islam mampu menumbuhkan kekuatan yang sangat besar dalam diri kaum muslimin. Hukum-hukumnya yang berkaitan dengan warga non-muslim menjamin hak-hak mereka. Hukum-hukum ini akhirnya mampu menjalin kerja-sama yang kuat di antara warga Negara Islam (muslim dan non-muslim). Karena itu, kafir penjajah (Barat) berpikir keras untuk menemukan jalan atau cara menghancurkan dunia Islam. Dan, mereka menemukannya bahwa cara yang terbaik adalah melalui perang tsaqafah. Perang ini dijalankan melalui program misionaris. Langkah awalnya menarik para pemeluk Kristen agar bekerja-sama dengan Barat. Langkah berikutnya mengobarkan keraguan kaum muslimin terhadap agama mereka serta menggoncangkan akidah mereka. Dengan demikian, mereka menemukan jalan untuk memecah belah antara warga muslim dan non-muslim di tengah rakyat daulah. Cara ini sangat efektif untuk melemahkan kekuatan kaum muslimin.

Perang Misionaris Sepanjang Zaman,-Mega proyek ini diwujudkan dengan langkah-langkah konkret. Di akhir abad 16 M mereka (Barat dengan para misionarisnya) mendirikan markas besar di Malta untuk gerakan misionaris. Markas itu dijadikan basis serangan misionais terhadap dunia Islam. Dari Malta kekuatan-kekuatan misionaris dikirimkan. Setelah menetap cukup lama di Malta dan mulai merasa membutuhkan pelebaran gerakan, mereka berpindah ke Syam tahun 1620 M. Mereka berusaha mewujudkan gerakan-gerakan misionaris. Gerakan mereka pada mulanya masih sangat terbatas dan belum menjelajah ke seluruh dunia sampai akhirnya mampu mendirikan sekolah-sekolah kecil dan menyebarkan sebagian buku keagamaan. Mereka bersikap simpatik dengan membantu memecahkan kesulitan-kesulitan masyarakat (warga Negara Islam) akibat penindasan, pengusiran, dan peperangan. Para misionaris ini tinggal di sana hingga tahun 1773 M ketika perguruan-perguruan misionaris kaum yesuit dihapus dan ketika lembaga-lembaga mereka ditutup kecuali beberapa perguruan misionaris yang lemah, seperti Perguruan Misionaris 'Azariyyin (Israil). Meski perguruan-perguruan ini masih berdiri, pengaruh dan misi para misionaris terputus dan kedudukan mereka tidak eksis kecuali di Malta hingga tahun 1820, yaitu ketika mereka berhasil mendirikan pusat gerakan misionaris yang pertama di Beirut. Setelah mulai bergerak di Beirut, mereka menemukan banyak kesulitan. Akan tetapi, mereka tetap konsis dan terus melanjutkan gerakan meski dihadapkan kesulitan-kesulitan. Perhatian mereka yang utama masih terfokus pada misi keagamaan dan tsaqafah keagamaan. Sementara perhatian terhadap masalah pendidikan masih lemah.

Pada tahun 1834 M para delegasi misionaris sudah tersebar luas di seluruh Syam. Di Desa 'Antsurah, Libanon, dibuka satu fakultas. Kemudian dari Malta dikirimkan delegasi-delegasi Amerika ke Beirut untuk mencetak buku-buku sekaligus menyebarkannya. Seorang misionaris Amerika yang sangat terkenal, Ili Smith menggerakkan misi ini dengan gerakan yang sangat fenomenal. Di Malta, kesibukan misionarisnya ditaati. Dia menguasai persoalan penerbitan buletin-buletin. Pada tahun 1827 M Smith datang ke Beirut. Akan tetapi, dia tidak tinggal lama. Ketakutan dan kecemasan yang menguasai perasaannya, di samping karena tidak mampu bersabar, membuatnya kembali ke Malta. Kemudian pada tahun 1834 M dia kembali lagi Beirut dan bersama istrinya membuka sekolah untuk wanita. Di depannya medan garapan semakin meluas. Karena itu, dia bertekad memusatkan hidupnya untuk bekerja di Beirut dengan visi gerakan khusus, dan di Syam dengan visi gerakan umum. Dengan demikian, seluruh aktifitas ini saling membantu dalam membangkitkan gerakan misionaris. Ibrahim Pasha yang menerapkan program-program pendidikan pertama (dasar) di Siria ­­yang diilhami dari program pendidikan yang ada di Mesir yang diambil dari program pendidikan dasar di Peracis­­ justru menjadi kesempatan emas bagi para misonaris. Mereka segera memanfaatkannya dan ikut andil dalam gerakan pendidikan dengan dilandaskan pada visi misionaris, kemudian gerakan itu mencakup gerakan percetakan. Dengan demikian, gerakan misionaris kembali tumbuh dan bergabung dalam gerakan pendidikan secara transparan. Dengan gerakan ini, mereka mampu membakar hati rakyat Negara Islam (muslim maupun non-muslim) dengan nama kebebasan beragama. Di antara kaum muslimin, Nasrani, dan Druze diadakan aktifitas keagamaan yang berkaitan dengan akidah.

Ketika Ibrahim Pasha meninggalkan Syam pada tahun 1840 M, kegelisahan, kecemasan, dan kegoncangan menyebar di Syam. Orang-orang terbelah mengikuti perasaan mereka masing-masing. Sementara para delegasi asing ­­apalagi para delegasi dari kaum misionaris­­ justru mengambil kesempatan ini untuk memperlemah pengaruh Daulah 'Utsmani di Syam. Untuk itu mereka mengobarkan api fitnah. Belum berjalan satu tahun dan belum genap tahun 1841 M, kegoncangan yang dikhawatirkan itu akhirnya meletus menjadi huru-hara berdarah di pegunungan Libanon yang membenturkan kelompok Kristen dan kaum Druze. Huru-hara ini memaksa Daulah 'Utsmani ­­tentunya dengan pengaruh tekanan negara-negara asing­­ membuat aturan baru untuk Libanon. Aturan itu membagi Libanon menjadi dua bagian: (i) bagian pertama adalah kelompok masyarakat yang dipimpin orang Nasrani, dan (ii) bagian kedua adalah kelompok masyarakat yang dipimpin kaum Druze. Kemudian daulah menentukan hakim untuk masing-masing kelompok. Kebijakan ini dimaksudkan daulah untuk melindungi ancaman perpecahan di antara dua kelompok itu. Akan tetapi sungguh sayang, aturan ini tidak berhasil karena memang isinya tidak alami. Sementara Perancis dan Inggris sibuk menyusupkan pengaruhnya ke dalam pertikaian ini. Keduanya terus membakar api fitnah setiap kali para penguasa daulah berusaha memadamkan persoalan. Inggris dan Perancis akhirnya berhasil mengambil peran penengah di tengah perpecahan di antara kelompok-kelompok yang bertikai dengan tujuan ikut campur menangani persoalan-persoalan Libanon.Perang Misionaris Sepanjang Zaman

Perancis berpihak kepada kelompok Mawaranah (sebuah sekte dalam Kristen Katolik), sementara Inggris berpihak pada Druze. Intervensi dari dua negara asing bertujuan menciptakan goncangan-goncangan baru dengan bentuk yang sangat mengerikan, dan itu terjadi pada tahun 1845 M. Untuk mencapai targetnya, mereka meneror biara-biara dan gereja-gereja dengan memakai cara-cara yang sangat biadab, seperti merampok, merampas, menculik, menghadang, dan membunuh. Teror-teror ini pula yang  memaksa Pemerintahan 'Utsmani mengirimkan para pengawas bagian luar ke Libanon. Petugas ini berusaha memperbaiki persoalan-persoalan dengan kebijakan-kebijakan yang netral. Akan tetapi, dia tidak mampu melakukan hal yang penting, meski berhasil memadamkan keadaan. Sementara pihak misionaris, justru berhasil meningkatkan gerakannya. Hingga pada tahun 1857 M muncul ide revolusioner dan agresi militer terhadap kelompok Mawaranah. Kaum agamawan Mawaranah membalas agresi ini dengan menggerakkan para petani untuk melakukan gerakan separatis dan menghantam para agresor di Libanon Utara. Balasan agresi mereka sangat bengis dan berhasil mengobarkan api revolusi di sana, kemudian gerakan itu melebar ke Selatan, sehingga seluruh para petani Nasrani ikut mengobarkan revolusi menentang kaum separatis Druze. Sementara Inggris dan Perancis, masing-masing sibuk memperkuat dukungan terhadap kelompoknya. Inggris mendukung Druze dan Perancis mendukung kelompok Kristen. Dengan demikian, fitnah meluas merata hingga meliputi seluruh Libanon. Kaum Druze membunuh semua warga Kristen, tanpa membedakan antara yang tokoh agama dan yang bukan. Banyak warga Kristen yang terbunuh dan ribuan dari mereka yang melarikan diri dari perlakuan keras karena tekanan berbagai konflik dan goncangan. Kemudian goncangan ini merambat ke seluruh Syam. Di Damaskus terkena hembusan gelombang kemarahan ini sehingga berhasil memunculkan pertikaian antara kaum muslimin dan Nasrani. Di bulan Juli tahun 1860 M gelombang panas ini mendorong kaum muslimin menghantam perkampungan Nasrani dan melakukan penjagalan besar-besaran. Penjagalan itu mengakibatkan keruntuhan, kehancuran, dan kegoncangan sehingga memaksa daulah menghentikan fitnah dengan kekuatan.

Meski goncangan-goncangan ini padam dan hampir-hampir berakhir, negara-negara Barat  justru melihat bahwa ini merupakan kesempatan yang terbuka bagi mereka untuk melakukan intervensi langsung ke dalam negeri Syam. Dengan peristiwa berdarah itu, Barat punya alasan untuk mengirimkan kapal-kapal perangnya ke hampir seluruh pesisir Syam. Di bulan Agustus di tahun yang sama, Perancis mengirimkan angkatan daratnya dan mendarat di Beirut. Mereka berdalih untuk memadamkan pemberontakan. Seperti demikianlah fakta sejarah yang benar-benar terjadi. Sesungguhnya kerusuhan di Siria yang diciptakan Barat sengaja untuk memojokkan Daulah 'Utsmani. Kerusuhan ini dimaksudkan untuk membuat pintu masuk bagi Barat. Dan, akhirnya Barat benar-benar berhasil masuk dan memaksa daulah supaya tunduk pada kemauan politik mereka dengan cara membuat aturan khusus untuk Siria. Aturan khusus itu mengatur pembagian Siria yang dibelah menjadi dua, memberi keistimewaan-keistimewaan khusus pada Libanon, memisahkan Libanon dari seluruh bagian wilayah Syam, memberinya kebebasan dan otonomi penuh, membiarkannya menikmati kehidupan dengan aturan lokal yang mandiri, dan pemerintahan dipimpin oleh seorang penguasa beragama Nasrani dengan dibantu oleh dewan administratur dalam pengendalian penduduk. Semenjak itu, negara-negara asing berhak mengatur urusan Libanon dan selanjutnya menjadikannya markas gerakan mereka. Libanon menjadi pangkal jembatan yang menghubungkan negara-negara asing (Barat) untuk melemparkan jujus-jurusnya ke jantung Daulah 'Utsmani yang Negara Islam.

Di tengah-tengah serangkaian kejadian ini, kaum misionaris menciptakan fenomena baru yang sebelumnya tidak ada. Mereka tidak puas hanya dengan gerakan melalui sekolah-sekolah dan aksi-aksi misionaris, penerbitan, dan berbagai praktek klinik. Mereka mulai menyiapkan langkah lebih maju dengan mendirikan kelompok-kelompok studi. Pada tahun 1842 M dibentuklah satu lembaga yang bertugas mendirikan kelompok kajian ilmiah di bawah delegasi Amerika. Kelompok ini bekerja sesuai dengan program-program para delegasi tersebut. Langkah-langkah lembaga ini tidak lepas dari alur yang dibuatnya. Selama lima tahun hingga pada tahun 1847 lembaga ini memantapkan posisinya dengan mendirikan kelompok studi yang diberi nama Jam'iyyatu al-Funuun wa al-'Uluum (kelompok studi sastra dan macam-macam ilmu). Anggotanya adalah Nashif al-Yazji dan Buthras al-Bustaniy. Keduanya dari Nasrani Libanon yang direkrut dengan alasan sifat kenasranian Arab. Anggota lain adalah Ili Smith dan Cornelis Van Dick dari Amerika, serta Kolonel Churchill dari Inggris. Pada mulanya tujuan dari kelompok studi ini masih samar. Akan tetapi, dalam perkembangan berikutnya tujuan lembaga studi ini sedikit demi sedikit mulai tampak, yaitu dengan adanya gerakan penyebaran ilmu-ilmu di antara tokoh-tokoh masyarakat sebagaimana juga penyebaran ilmu-ilmu di sekolah-sekolah untuk kalangan masyarakat bawah (kecil). Baik yang masuk katagori para pembesar maupun kalangan umum, semuanya dibawa untuk dididik dengan tsaqafah Barat dan diarahkan dengan pengarahan khusus yang sesuai dengan garis-garis besar haluan misionaris.

Meski para penggerak kelompok studi ini bekerja keras dan mengerahkan kemampuan juang pemaksaan yang berlebih-lebihan, selama kurang lebih dua tahun, mereka belum mampu merekrut anggota kelompok kecuali hanya 50 anggota pekerja yang berasal dari seluruh Syam. Mereka semua orang Nasrani dan sebagian besar dari penduduk Beirut. Dari kaum muslimin atau kaum Druze atau masyarakat umum, tidak satupun yang masuk kelompok studi ini. Mereka sudah mencurahkan seluruh kemampuan untuk memperluas dan mengaktifkan kelompok ini, akan tetapi tidak membuahkan hasil, dan setelah lima tahun berjalan dari pendiriannya, kelompok studi ini mati tanpa meninggalkan apa-apa selain satu pengaruh, yaitu keinginan kuat kaum misionaris untuk tetap mendirikan kelompok-kelompok studi. 

Karena itu, pada tahun 1850 M didirikanlah kelompok studi lain yang dinamakan al-Jam'iyyatu al-Syarqiyyah (kelompok studi ketimuran) yang didirikan oleh kaum yesuit di bawah pimpinan seorang bapak yesuit berkebangsaan Perancis, Henri Dubronier. Semua anggotanya dari kaum Nasrani. Pijakan jalannya mengikuti langkah dan metode kelompok pertama, yaitu Jam'iyyatu al-'Uluum wa al-Funuun. Akan tetapi, kelompok ini pun akhirnya tidak mampu hidup lama dan tidak lama menyusul kematian kelompok studi yang pertama. Kemudian didirikan beberapa kelompok studi yang kesemuanya juga akhirnya tenggelam. Namun, pada tahun 1857 M dibentuklah kelompok studi baru dengan uslub yang baru pula. Dalam kelompok ini tidak satupun warga asing yang menjadi anggotanya. Seluruh pendirinya diambil dari bangsa Arab. Dengan demikian dimungkinkan membuka koridor yang akan menyelaraskan dan menyatukan anggota-anggotanya antara yang berasal dari kelompok muslim dan kelompok Druze. Mereka semua direkrut dan diberi platform Arab. Kelompok studi itu diberi nama al-Jam'iyyatu al-'Ilmiyyah al-Suuriyyah (kelompok studi ilmiah Siria). Dengan kelebihan aktifitasnya, penampakannya dengan platform Arab, dan tidak adanya anggotanya dari orang Barat, maka kelompok ini mampu mempengaruhi warga Siria, sehingga banyak penduduk yang bergabung kepadanya. Jumlahnya sampai mencapai 150 jiwa. Di antara anggota pengurusnya yang lebih menonjolkan ke-Arab-an adalah Muhammad Arselan dari kaum Druze dan Husin Behm dari kaum muslimin. Demikian juga kelompok Nasrani Arab ikut bergabung dengan kelompok studi ini, di antara mereka yang terkenal adalah Ibrahim al-Yazji dan Ibnu Buthras al-Bustaniy. Kelompok studi ini mampu bertahan hidup lebih lama daripada kelompok-kelompok studi lainnya. Di antara program-programnya adalah menyelaraskan dan menyeimbangkan kelompok-kelompok tersebut dan membangkitkan rasa nasionalisme Arab dalam jiwa mereka. Akan tetapi, tujuan sebenarnya yang terselubung adalah penjajahan misionaris dengan atas nama ilmu terhadap Negara Islam. Tujuan itu tampak jelas dengan adanya pengiriman tsaqafah dan hadharah Barat ke dunia Islam.

Kemudian pada tahun 1875 di Beirut dibentuk kelompok studi yang sangat ekslusif (rahasia). Kelompok ini memfokuskan pada gerakan pemikiran politik, lalu menghembuskan ide nasionalis Arab. Para pendirinya adalah lima pemuda yang pernah digodok dan memperoleh ilmu di kuliah (fakultas) Protestan di Beirut. Mereka semua orang Nasrani yang menguasai visi-visi misionaris yang mengakar dalam jiwa mereka. Kemudian para pemuda ini mendirikan kelompok studi. Setelah berjalan beberapa waktu, mereka mampu menghimpun beberapa simpatisan. Pendapat-pendapat dan selebaran-selebaran yang dilontarkannya untuk membentuk opini yang mengarah pada kebangkitan nasionalis Arab dan kemerdekaan politik Arab, khususnya di Siria dan Libanon. Meski tujuan gerakan ini terlihat jelas dalam kiprahnya, program-program dan berita-beritanya masih dituangkan dalam keinginan-keinginan yang tersembunyi dan cita-cita yang terselubung dan terpendam dalam jiwa. Kelompok atau organisasi (jam'iyah) ini mengajak pada paham kebangsaan, ke-Arab-an, dan kenon-Araban ('Arubah) serta membangkitkan permusuhan terhadap Daulah 'Utsmaniah yang mereka (jam'iyah) namakan Negara Turki. Di samping itu, mereka juga berusaha memisahkan agama dari negara dan menjadikan kebangsaan Arab sebagai asas ideologi. Selain memakaikan baju 'arubah (kebangsaan non-Arab), mereka juga banyak berpedoman pada selebaran-selebaran yang mencurigai Turki ­­menurut dugaan mereka­­ bahwa Turki telah merampas kekhilafahan Islam dari tangan Arab, Turki juga dituduh telah melanggar syariah Islam yang indah dan melanggar batas agama. Tuduhan-tuduhan itu membuktikan tujuan mereka yang dapat diketahui dengan jelas pada sasaran gerakan mereka, yaitu membangkitkan gerakan melawan Daulah Islam, meragukan manusia dalam beragama, dan menegakkan gerakan-gerakan politik yang berdiri di atas landasan selain Islam. Bukti yang meyakinkan kebenaran tesis ini adalah hasil penyelidikan sejarah atas gerakan-gerakan yang menyatakan bahwa Barat telah membentuk kelompok-kelompok studi ini. Mereka mengawasi, membimbing, menaruh perhatian, dan menuliskan ketetapan-ketetapan tentangnya. Konsulat Inggris di Beirut pada tanggal 28 Juli 1880 M menulis telegran yang dikirimkan ke pemerintahannya. Teks telegramnya dalah sebagai berikut: "Selebaran-selebaran revolusiner telah bermunculan ..." Telegram ini merupakan respon atas pengaruh aktifitas kelompok tersebut yang menyebarkan selebaran-selebarannya di jalan-jalan dan menempelkannya di tembok-tembok di Beirut. Telegram ini membangkitkan munculnya pamflet-pamflet yang dikeluarkan dari konsul-konsul Inggris di Beirut dan Damaskus. Pamflet-pamflet ini sesuai dengan teks selebaran-selebaran yang disebarkan oleh organisasi (kelompok studi). Isi pamflet-pamflet ini sama dengan keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh gerakan yang dilahirkan di Kuliah Protestan dan beroperasi di Syam. Kiprahnya yang paling menonjol di Syam meski di pelosok-pelosok negara Arab lainnya juga ditemukan. Bukti-bukti lain yang menunjukkan tragedi ini di antaranya aktifitas politik Duta Inggris di Najd. Pada tahun 1882 M Dia menulis surat kepada pemerintahannya tentang gerakan kebangsaan Arab. Dalam surat itu disebutkan: "Informasinya telah sampai kepada saya bahwa sebagian ide (nasionalisme) telah sampai di Makkah. Ide itu telah mengambil peran untuk menggerakkan paham kebebasan. Setelah menangkap melalui isyarat-isyarat, tampak jelas bagi saya bahwa di sana juga ada batasan-batasan wilayah yang sudah tersusun. Batasan-batasan itu dilontarkan untuk menyatukan Najd dengan wilayah yang terletak di antara dua sungai, yaitu Selatan Iraq. Gerakan itu juga hendak mengangkat Manshur Pasha menjadi penguasa atas wilayah itu, juga hendak menyatukan 'Asir dengan Yaman dan mengangkat Ali bin Abid menjadi penguasa atas wilayah itu."

Perhatian terhadap masalah ini tidak hanya dilakukan Inggris, bahkan Perancis juga melakukan. Perhatiannya sampai melampaui batas yang cukup jauh. Pada tahun 1882 M salah seorang politisi Perancis yang tinggal di Beirut menulis surat kepada pemerintahannya. Surat ini cukup memberi bukti atas adanya perhatian Perancis terhadap persoalan ini. Surat itu menyatakan: "Ruh kemerdekaan (pelepasan dari kesatuan Daulah 'Utsmani) sudah tersebar meluas. Saya melihat para pemuda muslim di tengah-tengah domisili saya di Beirut sungguh-sungguh menginginkan terbentuknya organisasi-organisasi yang bekerja untuk mendirikan sekolah-sekolah, rumah sakit-rumah sakit, dan kebangkitan di negeri-negeri (daerah-daerah propinsi yang masuk wilayah Daulah 'Utsmani). Itulah di antara hal-hal yang mengalihkan perhatian pada gerakan ini. Gerakan ini menuntut kebebasan yang berasal dari pengaruh organisasi [kebangsaan]. Organisasi ini menuntut diterimanya orang-orang Kristen untuk menjadi anggota-anggotanya dan diajak untuk saling bekerj-sama mewujudkan gerakan kebangsaan." Salah seorang Perancis dari Bagdad menulis surat: "Di setiap tempat dan dalam konteks yang sama, ada fenomena baru yang selalu menjumpai saya. Fenomena baru itu adalah rasa benci pada Turki yang sudah menjadi gejala umum. Adapun gagasan melakukan kegiatan bersama yang terencana untuk melemparkan api kebencian ini sudah berada di tahapan pembentukan. Di ufuk yang jauh, impian gerakan kebangsaan Arab yang telah lahir menjadi gerakan baru sudah tampak. Bangsa yang dikalahkan ini akan terus menegakkan urusannya (tuntutan kebangsaan) hingga sekarang ini dengan tuntutan-tuntutan yang telah mendekat dan memusat di dunia Islam, dan dengan tujuan untuk mengarahkan pengembalian dunia ini."

Operasi perang misionaris dengan atas nama agama dan ilmu tidak hanya menjadi perhatian Amerika, Inggris, dan Perancis, tetapi sudah menjadi agenda sebagian besar negara non-Islam, di antaranya Kekaisaran Rusia. Rusia mengirimkan agen-agen misionaris sebagaimana juga yang dilakukan Jerman yang telah memenuhi Syam dengan biarawati-biarawatinya. Mereka saling bekerja sama dengan agen-agen misionaris lainnya. Meski terdapat perbedaan arah pandangan politik di antara agen-agen misionaris dan para delegasi Barat kaitannya dengan jalan politik dalam konteks kepentingan masing-masing negara, mereka masih tetap bersepakat dalam tujuan yang sama, yaitu: menyebarkan misi agama Kristen (kristenisasi), mengekspor tsaqafah Barat di Dunia Timur, meragukan kaum muslimin dalam beragama, membawa mereka pada penderitaan yang semakin parah, merendahkan sejarah mereka, dan memuliakan Barat dan hadharah mereka. Semua itu dilakukan bersamaan dengan kebencian yang teramat sangat terhadap Islam dan kaum muslimin, menghinakan mereka, dan mengatagorikan mereka sebagai kaum barbar mutakhir. Gerakan ini sudah menjadi opini setiap orang Eropa, dan mereka telah mencapai hasil-hasilnya. Itulah yang menjadi sebab pemusatan kekufuran dan penjajahan di negara-negara Islam sebagaimana yang kita lihat. Perang Misionaris Sepanjang Zaman.


Perang Misionaris Sepanjang Zaman
About
Perang Misionaris Sepanjang Zaman - written by Unknown , published at 08.48, categorized as Belajar islam . And has 0 komentar
0 komentar Add a comment
Bck
Cancel Reply