ASPEK HUKUM PUASA RAMADHAN

by Unknown , at 07.55 , has 0 komentar
BEBERAPA ASPEK HUKUM BERKAITAN DENGAN PUASA
a. Faman kana minkum maridha (Siapa di antara kamu yang menderita sakit)
Maridh berarti sakit. Penyakit dalam kaitannya dengan berpuasa secara garis besar dapat dibagi dua:
  1.  Penderita tidak dapaat berpuasa; dalam hal ini ia  wajib berbuka; dan    
  2. Penderita dapat berpuasa, tetapi dengan mendapat kesulitan atau keterlambatan penyembuhan, maka ia  dianjurkan tidak berpuasa.
Sebagian ulama menyatakan bahwa penyakit apa pun yang diderita oleh seseorang, membolehkannya untuk berbuka. Ulama besar ibnu Sirin, pernah ditemui makan  di  siang  hari  bukan  Ramadhan, dengan  alasan  jari  telunjuknya  sakit.  Betapa  pun,  harus dicatat, bahwa Al-Quran tidak merinci persolan ini. Teks  ayat mencakup pemahaman ibnu Sirin tersebut. Namun demikian agaknya kita dapat berkata bahwa Allah Swt.  sengaja  memilih  redaksi demikian, guna menyerahkan kepada nurani manusia masing-masing untuk menentukan sendiri apakah ia  berpuasa  atau  tidak.  Di sisi lain harus diingat bahwa orang yang tidak berpuasa dengan alasan sakit atau dalam perjalanan  tetap  harus  menggantikan hari-hari ketika ia tidak berpuasa dalam kesempatan yang lain.
b. Aw'ala safarin (atau dalam perjalanan)
Ulama-ulama berbeda pendapat tentang  bolehnya  berbuka  puasa bagi  orang  yang sedang musafir. Perbedaan tersebut berkaitan dengan jarak perjalanan. Secara  umum  dapat  dikatakan  bahwa jarak  perjalanan  tersebut  sekitar  90 kilometer, tetapi ada juga yang tidak menetapkan jarak tertentu,  sehingga  seberapa pun  jarak yang ditempuh selama dinamai safar atau perjalanan, maka  hal  itu  merupakan  izin  untuk  memperoleh   kemudahan (rukhshah).
Perbedaan  lain  berkaitan  dengan  'illat  (sebab)  izin ini. Apakah karena  adanya  unsur  safar  (perjalanan)  atau  unsur keletihan akibat perjalanan. Di sini, dipermasalahkan misalnya jarak antara Jakarta-Yogya yang ditempuh dengan pesawat kurang dari  satu  jam,  serta  tidak  meletihkan,  apakah  ini dapat dijadikan alasan untuk berbuka atau  meng-qashar  shalat  atau tidak.  Ini  antara  lain berpulang kepada tinjauan sebab izin ini.
Selanjutnya mereka  juga  memperselisihkan  tujuan  perjalanan yang  membolehkan  berbuka  (demikian juga qashar dan menjamak shalat). Apakah  perjalanan  tersebut  harus  bertujuan  dalam kerangka  ketaatan  kepada  Allah,  misalnya  perjalanan haji, silaturahmi, belajar, atau termasuk juga perjalanan bisnis dan mubah (yang dibolehkan) seperti wisata dan sebagainya? Agaknya alasan yang memasukkan hal-hal  di  atas  sebagai  membolehkan berbuka,  lebih  kuat,  kecuali jika perjalanan tersebut untuk perbuatan  maksiat,  maka  tentu   yang   bersangkutan   tidak memperoleh  izin  untuk  berbuka  dan atau menjamak shalatnya. Bagaimana  mungkin  orang  yang  durhaka   memperoleh   rahmat kemudahan dari Allah Swt.?
Juga  diperselisihkan  apakah  yang  lebih  utama bagi seorang musafir, berpuasa atau berbuka? Imam Malik  dan  imam  Syafi'i menilai  bahwa  berpuasa  lebih utama dan lebih baik bagi yang mampu,  tetapi  sebagian  besar  ulama  bermazhab  Maliki  dan Syafi'i  menilai  bahwa  hal  ini  sebaiknya diserahkan kepada masing-masing pribadi, dalam arti  apa  pun  pilihannya,  maka itulah  yang lebih baik dan utama. Pendapat ini dikuatkan oleh sebuah riwayat dari imam Bukhari dan Muslim melalui  Anas  bin Malik  yang menyatakan bahwa, "Kami berada dalam perjalanan di bulan Ramadhan, ada  yang  berpuasa  dan  adapula  yang  tidak berpuasa.  Nabi  tidak  mencela  yang berpuasa, dan tidak juga (mereka) yang tidak berpuasa."
Memang ada juga ulama yang beranggapan  bahwa  berpuasa  lebih baik  bagi orang yang mampu. Tetapi, sebaliknya, ada pula yang menilai bahwa berbuka lebih baik  dengan  alasan,  ini  adalah izin  Allah.  Tidak  baik  menolak  izin dan seperti penegasan Al-Quran  sendiri  dalam  konteks  puasa,  "Allah  menghendaki kemudahan untuk kamu dan tidak menghendaki kesulitan."
Bahkan  ulama-ulama  Zhahiriyah dan Syi'ah mewajibkan berbuka, antara lain berdasar firman-Nya dalam lanjutan ayat  di  atas, yaitu:
c. Fa 'iddatun min ayyamin ukhar (sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari lain).
Ulama  keempat  mazhab  Sunnah   menyisipkan   kalimat   untuk meluruskan  redaksi  di  atas,  sehingga  terjemahannya  lebih kurang berbunyi, "Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (dan   ia  tidak  berpuasa),  maka  (wajib  baginya  berpuasa) sebanyak hari-hari yang ditinggalkan itu pada  hari-hari  yang lain."
Kalimat  "lalu  ia  tidak  berpuasa"  adalah sisipan yang oleh ulama perlu adanya, karena terdapat sekian banyak  hadis  yang membolehkan  berpuasa  dalam  perjalanan,  sehingga  kewajiban mengganti itu, hanya ditujukan kepada para musafir  dan  orang yang sakit tetapi tidak berpuasa.
Sisipan  semacam ini ditolak oleh ulama Syi'ah dan Zhahiriyah, sehingga dengan demikian --buat mereka--  menjadi  wajib  bagi orang  yang  sakit  dan dalam perjalanan untuk tidak berpuasa, dan wajib pula menggantinya pada hari-hari yang  lain  seperti bunyi harfiah ayat di atas.
Apakah    membayar   puasa   yang   ditinggalkan   itu   harus berturut-turut? Ada sebuah hadis --tetapi dinilai lemah—yang menyatakan  demikian.  Tetapi  ada riwayat lain melalui Aisyah r.a. yang menginformasikan bahwa memang awalnya ada kata  pada ayat   puasa   yang   berbunyi   mutatabi'at,  yang  maksudnya memerintahkan  penggantian  (qadha')   itu   harus   dilakukan bersinambung tanpa sehari pun berbuka sampai selesainya jumlah yang diwajibkan. Tetapi kata mutatabi'at dalam fa 'iddatun min ayyamin   ukhar   mutatabi'at   yang   berarti   berurut  atau bersinambung itu, kemudian dihapus oleh  Allah  Swt.  Sehingga akhirnya  ayat  tersebut  tanpa  kata  ini,  sebagaimana  yang tercantum dalam Mushaf sekarang.
Meng-qadha' (mengganti) puasa, apakah harus segera, dalam arti harus   dilakukannya   pada   awal   Syawal,   ataukah   dapat ditangguhkan sampai sebelum datangnya Ramadhan berikut?  Hanya segelintir  kecil  ulama  yang  mengharuskan sesegera mungkin, namun umumnya tidak  mengharuskan  ketergesaan  itu,  walaupun diakui  bahwa semakin cepat semakin baik. Nah, bagaimana kalau Ramadhan berikutnya sudah berlalu, kemudian kita tidak  sempat menggantinya,  apakah  ada  kaffarat akibat keterlambatan itu? Imam Malik, Syafi'i, dan Ahmad, berpendapat bahwa  di  samping berpuasa,  ia  harus  membayar  kaffarat  berupa memberi makan seorang miskin; sedangkan imam Abu  Hanifah  tidak  mewajibkan kaffarat  dengan  alasan  tidak  dicakup  oleh redaksi ayat di atas.
d. Wa 'alal ladzina yuthiqunahu fidyatun tha'amu miskin (Dan wajib bagi orang yang beratmenjalankannya membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin) (QS Al-Baqarah [2]: 184).
Penggalan ayat ini diperselisihkan maknanya oleh banyak  ulama tafsir.  Ada  yang  berpendapat  bahwa pada mulanya Allah Swt. memberi alternatif bagi orang yang wajib puasa, yakni berpuasa atau berbuka dengan membayar fidyah. Ada juga yang be~pendapat bahwa ayat ini berbicara tentang para musafir dan orang sakit, yakni  bagi  kedua  kelompok  ini  terdapat  dua  kemungkinan: musafir dan orang  yang  merasa  berat  untuk  berpuasa,  maka ketika  itu  dia harus berbuka; dan ada juga di antara mereka, yang pada hakikatnya  mampu  berpuasa,  tetapi  enggan  karena kurang  sehat  dan  atau  dalam  perjalanan,  maka bagi mereka diperbolehkan untuk berbuka dengan syarat membayar fidyah.
Pendapat-pendapat di atas tidak populer di kalangan  mayoritas ulama.  Mayoritas  memahami  penggalan  ini  berbicara tentang orang-orang tua  atau  orang  yang  mempunyai  pekerjaan  yang sangat  berat, sehingga puasa sangat memberatkannya, sedang ia tidak mempunyai sumber rezeki lain kecuali pekerjaan itu. Maka dalam  kondisi  semacam  ini. mereka diperbolehkan untuk tidak berpuasa dengan syarat membayar fidyah. Demikian  juga  halnya terhadap  orang  yang sakit sehingga tidak dapat berpuasa, dan diduga tidak akan sembuh dari penyakitnya. Termasuk juga dalam pesan  penggalan  ayat  di atas adalah wanita-wanita hamil dan atau menyusui. Dalam hal ini terdapat rincian sebagai berikut:
Wanita yang hamil  dan  menyusui  wajib  membayar  fidyah  dan mengganti  puasanya  di  hari  lain,  seandainya  yang  mereka khawatirkan adalah janin atau anaknya  yang  sedang  menyusui. Tetapi  bila  yang mereka khawatirkan diri mereka, maka mereka berbuka dan hanya wajib menggantinya di hari lain, tanpa harus membayar fidyah.
Fidyah  dimaksud adalah memberi makan fakir/miskin setiap hari selama  ia  tidak  berpuasa.  Ada  yang  berpendapat  sebanyak setengah  sha'  (gantang)  atau kurang lebih 3,125 gram gandum atau kurma (makanan pokok). Ada juga yang menyatakan satu  mud yakni   sekitar   lima   perenam  liter,  dan  ada  lagi  yang mengembalikan penentuan jumlahnya pada kebiasaan yang  berlaku pada setiap masyarakat.  
e. Uhilla lakum lailatash-shiyamir-rafatsu ila nisa'ikum (Dihalalkan kepada kamu pada malam Ramadhan bersebadan dengan istri-istrimu) (QS Al-Baqarah [2]:187)
Ayat ini membolehkan hubungan seks (bersebadan) di malam  hari bulan  Ramadhan, dan ini berarti bahwa di siang hari Ramadhan, hubungan seks  tidak  dibenarkan.  Termasuk  dalam  pengertian hubungan  seks  adalah  "mengeluarkan  sperma" dengan cara apa pun. Karena itu walaupun ayat ini tak  melarang  ciuman,  atau pelukan antar suami-istri, namun para ulama mengingatkan bahwa hal tersebut bersifat makruh, khususnya bagi yang tidak  dapat menahan  diri,  karena  dapat  mengakibatkan keluarnya sperma. Menurut istri Nabi, Aisyah  r.a.,  Nabi  Saw.  pernah  mencium istrinya  saat  berpuasa.  Nah, bagi yang mencium atau apa pun selain  berhubungan  seks,  kemudian  ternyata  "basah",  maka puasanya  batal;  ia harus menggantinya pada hari 1ain. Tetapi mayoritas ulama tidak mewajibkan  yang  bersangkutan  membayar kaffarat,  kecuali  jika  ia melakukan hubungan seks (di siang hari), dan kaffaratnya dalam hal ini  berdasarkan  hadis  Nabi adalah  berpuasa  dua  bulan berturut-turut. Jika tidak mampu, maka ia harus memerdekakan hamba. Jika tidak mampu juga,  maka ia harus memberi makan enam puluh orang miskin.
Bagi  yang  melakukan hubungan seks di malam hari, tidak harus mandi sebelum terbitnya fajar.  Ia  hanya  berkewajiban  mandi sebelum  terbitnya  matahari  --paling tidak dalam batas waktu yang memungkinkan ia shalat  subuh  dalam  keadaan  suci  pada waktunya. Demikian pendapat mayoritas ulama.
f. Wakulu wasyrabu hatta yatabayyana lakumul khaith al-abyadhu minal khaithil aswadi minal fajr (Makan dan minumlah sampai terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar).
Ayat ini membolehkan seseorang untuk  makan  dan  minum  (juga melakukan hubungan seks) sampai terbitnya fajar.
Pada   zaman   Nabi,   beberapa   saat  sebelum  fajar,  Bilal mengumandangkan azan, namun beliau  mengingatkan  bahwa  bukan itu  yang dimaksud dengan fajar yang mengakibatkan larangan di atas.  Imsak  yang  diadakan  hanya  sebagai  peringatan   dan persiapan untuk tidak lagi melakukan aktivitas yang terlarang. Namun  bila  dilakukan,  maka  dari  segi  hukum  masih  dapat dipertanggungjawabkan  selama fajar (waktu subuh belum masuk). Perlu  dingatkan,  bahwa   hendaknya   kita   jangan   terlalu mengandalkan  azan,  karena  boleh jadi muazin mengumandangkan azannya setelah berlalu beberapa saat dari waktu subuh. Karena itu  sangat  beralasan  untuk  menghentikan aktivitas tersebut saat imsak.
g. Tsumma atimmush shiyama ilal lail (Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam).
Penggalan ayat ini datang setelah ada  izin  untuk  makan  dan minum sampai dengan datangnya fajar.
Puasa  dimulai  dengan  terbitnya  fajar,  dan berakhir dengan datangnya malam. Persoalan yang juga diperbincangkan oleh para ulama  adalah  pengertian  malam. Ada yang memahami kata malam dengan tenggelamnya matahari walaupun masih  ada  mega  merah, dan  ada  juga yang memahami malam dengan hilangnya mega merah dan menyebarnya  kegelapan.  Pendapat  pertama  didukung  oleh banyak  hadis  Nabi Saw., sedang pendapat kedua dikuatkan oleh pengertian kebahasaan dari lail  yang  diterjemahkan  "malam". Kata  lail  berarti "sesuatu yang gelap" karenanya rambut yang berwarna hitam pun dinamai lail.
Pendapat pertama sejalan juga dengan anjuran Nabi  Saw.  Untuk mempercepat  berbuka  puasa,  dan  memperlambat sahur pendapat kedua sejalan dengan  sikap  kehatian-hatian  karena  khawatir magrib sebenarnya belum masuk.
Demikian  sedikit  dari  banyak  aspek hukum yang dicakup oleh ayat-ayat yang berbicara tentang puasa Ramadhan.
ASPEK HUKUM PUASA RAMADHAN
About
ASPEK HUKUM PUASA RAMADHAN - written by Unknown , published at 07.55, categorized as Ramadhan . And has 0 komentar
0 komentar Add a comment
Bck
Cancel Reply