Syariat Islam dari mabda’nya berfungsi memelihara 5 (lima) jenis perkara, yakni, jiwa, keturunan, harta benda, akal dan agama. Di atas mabda-mabda itu, ulama sangat giat melakukan pengkajian dengan berbagai cara atau metode; antara lain, tatacara seperti adanya klasifikasi Maqaashid al Syari’ah ( tujuan syara’) menjadi 3 (tiga) peringkat, yakni, dharuriyah, haajiah dan tahsiniyah. Ketiganya dalam tasyri, memiliki peran di atas semua obyek hukum menurut prinsip fundamental dalam syariat, baik karena ada petunjuk dari nas Alquran dan Sunah, maupun menurut ijtihad para ulama.
Perspektif hukum Islam lazim dibangun dengan berbagai metode. Tentu di dalamnya tidak hanya mengatur hubungan bersifat horisontal, juga ada garis bersifat vertikal. Dalam terminologi fikih, terutama menurut mazhab Suni kecuali mazhab Zahiri, ketentuan yang mengatur hubungan horisontal disebut fikih muamalah, ketentuan yang mengatur hubungan vertikal disebut fikih ibadah.
Islam adalah ajaran Allah SWT terstruktur sebagai agama terakhir, substansi ajarannya mencakup segala aktifitas manusia di atas permukaan bumi. Dan karenanya manusia diserukan untuk beramal menurut ketentuan ridha Allah SWT. Dalam formalitas kehidupan lahiriyah, Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan Penciptanya, juga hubungan manusia dengan sesamanya, plus dengan lingkungan sekitarnya. Dalam pada itu, Islam setelah hadir dalam sejarah, secara kultural dapat ditinjau dari berbagai aspek, antara lain aspek hukum.
Khuderi Bek, dalam Tarikh Tasyri’ al-islam membagi sejarah pembentukan hukum Islam kepada enam periode yaitu:
1. Pembentukan hukum Islam pada masa hidupnya Nabi Muhammad Saw.
2. Pembentukan hukum Islam pada masa sahabat besar. Masa ini berakhir dengan berakhi rnya khulafaur rasyidin.
3. Pembentukan hukum islam masa sahabat dan tabiin yang sejajar dengan mereka kebaikannya. Masa ini berakhir dengan berakhirnya abad pertama Hijriyah atau sedikit sesudah itu.
4. Pembentukan hukum masa fikih sudah menjadi cabang ilmu pengetahuan. Periode ini berakhir dengan berakhirnya abad ketiga hijriyah.
5. Pembentukan hukum pada masa yang di dalamnya telah dimasukkannya masalah-masalah yang berasal dari para Imam, dan munculnya karangan-karangan besar. Masa ini berakhir dengan berakhirnya Daulat Abbasiyah di Baghdad.
6. Pembentukan hukum pada masa taklid semata-mata. Masanya sesudah periode kelima sampai sekarang.[1]
Berdasarkan periode-periode tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwasanya periode awal pembentukan dan perkembangan hukum Islam dapat dilihat pada keberadaan tasyri’[2]pada masa Rasulullah saw dan masa sahabat besar (Khulafaur Rasyidin). Sehingga pembahasan makalah ini hanya akan membahas pemikiran hukum Islam pada ke dua masa tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kondisi Pemikiran Hukum Islam (Tasyri’) pada Masa Rasulullah saw?
2. Bagaimana kondisi Pemikiran Hukum Islam (Tasyri’) pada Masa Khulafaur Rasyidin?
II. PEMBAHASAN
A. Tasyri’ pada Masa Rasulullah
Islam datang kepada umat manusia oleh seorang Rasul yang diutus untuk memperbaiki kondisi bangsa Arab yang pada masa itu menyembah berhala, system masyarakat yang kacau balau. Pada awalnya Rasulullah sangat hati-hati dalam dakwahnya, beliau mengalami cukup banyak hambatan dan halangan yang dilakukan oleh suku quraisy pada saat itu.
Menurut Ahmad Syalabi, ada lima factor yang menyebabkan orang Quraisy termotivasi untuk menentang seruan Islam tersebut:
1. Mereka tidak dapat membedakan antara kenabian dan kekuasaan.
2. Nabi Muhammad saw. mendakwahkan persamaan hak antara bangsawan dan hamba sahaya.
3. Para pemimpin Quraisy tidak dapat menerima ajaran tentang kebangkitan kembali dan pembalasan di akhirat.
4. Taklid kepada nenek moyang yang sudah mengakar pada bangsa Arab.
5. Pemahat dan penjual patung memandang Islam sebagai penghalang rezki.[3]
Inilah yang mengakibatkan dalam penerapan peraturan-peraturan maupun syariat Islam diperlukan adanya proses yang bertahap.
Tahap awal dari orientasi Islam adalah memenuhi aqidah yang merupakan landasan utama yang menjadi dasar bagi semua aspek kehidupan masyarakatnya. Di samping itu, penghapusan sedikit demi sedikit moral bejat mereka, menghapus kebiasaan-kebiasaan jelek yang telah mendarah daging di kalangan mereka. Ini merupakan awal pembentukan hukum Islam yang menggunakan alquran sebagai sumber atau dasarnya.
Masa Nabi Muhammad saw ini juga disebut sebagai periode risalah, karena pada masa-masa ini agama Islam baru didakwahkan. Pada periode ini, permasalahan fiqih diserahkan sepenuhnya kepada Nabi Muhammad saw. Alquran diturunkan menjadi petunjuk dan pedoman hidup manusia. Ayat demi ayat yang diterima oleh Rasulullah saw. diterangkan dan dijabarkan lebih jauh oleh beliau yang kemudian diamalkan oleh kaum Muslimin. Pada masa kenabian, terdapat dua periode pembinaan hukum Islam, yaitu periode Makkah dan periode Madinah. Periode Makkah dikenal dengan periode penanaman aqidah dan akhlak. Aqidah berbicara tentang kepercayaan kepada Allah swt., kepada Malaikat, Kepada Rasul, kepada hari akhir dan kepada qada dan qadar. Sementara itu akhlak berbicara tentang larangan membunuh, larangan mengurangi timbangan dan menjauhi perbuatan tercela, dll. Kedua hal inilah yang diutamakan Nabi saw. dalam dakwahnya.
Hijrahnya Nabi saw. ke Madinah merupakan periode yang kedua dalam pembinaan hukum Islam. Periode Madinah dikenal sebagai periode penaatan dan pemapanan masyarakat. Oleh karena itu di periode Madinah inilah ayat-ayat yang memuat hukum-hukum mulai diturunkan baik yang bersifat ritual maupun social. Adapun factor yang menyebabkan proyek hukum banyak dibicarakan dalam periode Madinah yaitu karena dalam periode ini orang Islam sudah memiliki dasar akhlak dan aqidah yang kuat sebagai landasan terhadap aspek-aspek lainnya.
Beberapa contoh metode yang diterapkan pada masa pertumbuhan dan pembinaan hukum Islam pada periode Rasulullah saw. antara lain adalah:
1. Perubahan yang ditetapkan dilakukan secara revolusi ataupun bertahap (tadwin) terhadap adat istiadat yang telah mengakar dalam masyarakat. Salah satu contohnya adalah tentang permasalahan minuman khamar dan judi.[4]Pada tahap pertama menjelaskan tentang kerugian yang lebih besar daripada keuntungannya. Pada tahap berikutnya tidak boleh mendekati shalat ketika dalam keadaan mabuk dan pada akhirnya dinyatakan sebagai perbuatan syaitan dan mesti dijauhi. Kemudian penjelasan hukum yang diberikan oleh Rasulullah saw. lebih banyak dalam bentuk pertanyaan yang diajukan dan memerlukan jawaban.
2. Bersifat tegas (evolusioner) dalam bidang-bidang tertentu terutama dalam ibadah maupun aqidah.[5]
3. Metode yang diterapkan dalam penetapan hukum tidak berpandangan picik (berwawasan luas).[6]
4. Penyederhanaan aturan-aturan atau untuk keringanan manusia.[7] Metode yang diterapkan Rasulullah saw. ini bersandarkan tuntunan Allah swt dalam menerapkan ataupun membina hukum Islam.
Pada periode Madinah ini, ijtihad mulai diterapkan[8], walaupun pada akhirnya akan kembali pada wahyu Allah kepada Nabi Muhammad saw. Sumber hukum yang dipakai Rasulullah SAW adalah Alquran dan wahyu kerasulan.
Sumber/kekuasaan tasyri’ (pembuatan undang-undang) pada periode ini hanya dipegang oleh Rasulullah dan tak seorang pun dari umat Islam, selain beliau dibolehkan menentukan hukum yang berkenaan dengan suatu peristiwa, baik untuk dirinya sendiri, ,ataupun untuk orang lain. Hal ini karena dengan adanya Rasulullah SAW. Di tengah-tengah mereka, yang memudahkan mereka mengembalikan setiap masalah kepada beliau, maka tak seorangpun dari mereka berani berfatwa dari hasil ijtihadnya sendiri dalam suatu peristiwa atau menjatuhkan vonis terhadap suatu persengketaan yang terjadi.[9] Bahkan, kalau mereka (para sahabat) menghadapi suatu peristiwa, terjadi persengketaan, suatu pertanyaan, atau permintaan fatwa, mereka langsung mengembalikan persoalan-persoalan itu pada Rasulullah saw.
Namun demikian sebagian sahabat pernah melakukan ijtihad dan memutuskan sebagian persengketaan dan mengambil suatu hukum. Rasulullah SAW mengizinkan para sahabat memutuskan perkara sesuai dengan ketetapan Allah, Sunnah Rasul, ijtihad atau qiyas. Ini dibuktikan dengan hadis Mu’âdz bin Jabal tatkala beliau diangkat menjadi gubenur dan hakim di Yaman:[10]
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ كَيْفَ تَصْنَعُ إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ قَالَ أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي لَا آلُو قَالَ فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرِي ثُمَّ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Sesungguhnya Rasulullah SAW pada saat mengutusnya (Mu’âdz bin Jabal) ke Yaman, Rasul berkata padanya: “Bagaimana kamu melakukan ketika kamu hendak memutus perkara?” Mu’âdz pun menjawab: “Aku memutus dengan apa yang terdapat di dalam kitab Allah”. Lalu Rasul bertanya: “Kalau tidak terdapat di dalam kitab Allah?” Mu’âdz menjawab: “Maka dengan memakai sunnah Rasulullah SAW”. Lalu Rasul bertanya: “Seumpama tidak ada di sunnah Rasulullah?” Mu’âdz menjawab: “Aku berijtihad sesuai dengan pemikiranku bukan dengan nafsuku”. Lalu Rasulullah SAW menepuk dada Mu’âdz, dan Rasul bersabda “Segala puji bagi Allah yang telah mencocokkan kerasulan Rasullullah pada apa yang diridai Allah terhadap Rasulullah”.[11]
Hal tersebut di atas dan semacamnya tidak berarti menunjukkan bahwa seorang selain Nabi mempunyai wewenang untuk membuat ketentuan hukum, sebab hanya terjadi pada waktu-waktu tertentu, yang tidak memungkinkan untuk menyerahkan permasalahannya kepada Rasulullah saw. Di samping itu, keputusan sahabat itu merupakan penerapan hukum, bukan merupakan suatu tasyri’. Olehnya itu setiap ijtihad sahabat belum merupakan ketetapan yang berlaku bagi umat Islam kecuali bila ada ketetapan dari Rasulullah saw. ijtihad yang dating selain dari beliau baru bisa menjadi tasyri’ kalau sudah ada pengakuan dari beliau.[12]
Jika disimak hukum Islam seirama dengan dimensinya dalam sejarah, maka isi pengkajian dalam setiap dimensinya mutlak menampakkan berbagai sistem atau metode. Oleh sebab itu, pada zaman Rasulullah saw., hukum Islam secara bersahaja dapat diperoleh berdasarkan wahyu Allah swt dan ijtihad Rasulullah saw, yaitu hukum Islam dalam perspektif Alquran dan Sunah. Masing-masing diyakini oleh umat Islam adalah syari’at Islam, semua tergambar sebagai dalil naqli atau nash-nash.[13]
Pengaturan tentang peraturan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an lebih banyak diungkapkan secara garis besar, sehingga memerlukan penjelasan Nabi. Oleh karena itu, terasa perlu untuk tetap mengkaji sunnah, karena Nabi sebagai mubayyin terhadap al-Qur’an. Sebagian aturan al-Qur’an yang bersifat umum atau yang berbentuk gari-garis besar telah diperjelas secara harfiah oleh Nabi. Akan tetapi kemudian akan muncul permasalahan, karena masih banyaknya juga penjelasan Nabi yang juga memerlukan penalaran.[14]
Pemikiran hukum Islam di masa Nabi belum menampakkan corak pemahaman yang diakibatkan oleh perbedaan penafsiran, karena posisi Nabi selain sebagai bayan (pemberi penjelasan) juga sebagai penetap hukum atau masalah yang muncul. Sehingga kesimpulan hukum yang dihasilkan kurang bahkan tidak reaksi dalam masyarakat. Pada zaman Nabi, hukum-hukum atau penetapan-penettapan hukum itu masih belum mendapatkan bentuk tertentu. Hukum Islam pada waktu itu masih merupakan sesuatu yang lahir dari ucapan-ucapan Nabi yang nampak pada tindakan-tindakan Nabi. Beliaulah dan hanya dari beliau sendiri, baik yang berupa wahyu maupun yang berupa musyawarah dengan para sahabt-sahabat, dan dapat dianggap sah sesuatu penetapan hukum.[15]
B. Tasyri’ pada Masa Khulafaur Rasyidin
Khulafaur Rasyidin adalah istilah yang biasanya digunakan untuk menyebutkan empat orang pimpinan tertinggi umat Islam yang berturut-turut menggantikan kedudukan Nabi Muhammad Saw sebagai kepala negara,yaitu Abu Bakar (w. 13 H), Umar bin Khattab (w. 23 H),Usman bin Affan (w. 35 H)dan Ali bin Abi Thalib (w. 40 H). Sebutan tersebut diberikan-kepada mereka, selain berhubungan dengan sifat rasyad atau rusyud yang diangap selalu menyertai tindakan dan kebijakan yang mereka lakukan juga dengan ungkapan yang tersebut di dalam hadis Nabi Saw.
Masa ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad saw tahun 11 H, sampai pada masa berdirinya Dinasti Umayyah ditangan Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Sumber fiqih pada periode ini didasari pada Al-Qur'an dan Sunnah juga ijtihad para sahabat Nabi Muhammad yang masih hidup. Ijtihad dilakukan pada saat sebuah masalah tidak diketemukan dalilnya dalam nash Al-Qur'an maupun Hadis. Permasalahan yang muncul semakin kompleks setelah banyaknya ragam budaya dan etnis yang masuk ke dalam agama Islam. Pada periode ini, para faqih mulai berbenturan dengan adat, budaya dan tradisi yang terdapat pada masyarakat Islam kala itu. Ketika menemukan sebuah masalah, para faqih berusaha mencari jawabannya dari Al-Qur'an. Jika di Al-Qur'an tidak diketemukan dalil yang jelas, maka hadis menjadi sumber kedua . Dan jika tidak ada landasan yang jelas juga di Hadis maka para faqih ini melakukan ijtihad.[16]
Alasan mereka untuk kembali Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah sebagaimana diperintahkan dalam al-Qur’an untuk berbakti kepada Allah dan Rasulullah, dan mengembalikan hal-hal yang diperselisihkan kepada Allah dan Rasulullah serta menerima atau berserah diri kepada sesuatu yang sudah ditetapkan oleh Allah dan Rasulullah.
Adapun alasan mereka untuk memegangi ijtihad adalah[17]:
a. Mereka mencontoh perbuatan Nabi, yaitu mempergunakan ijtihadnya apabila wahyu Ilahi tidak turun kepadanya.
b. Percakapan yang pernah terjadi ketika Rasulullah mengutus Muaz bin Jabal menjadi Qadi negeri Yaman.
c. Apa yang mereka pahami dari penyebutan illat (alasan) pada sebagai hukum dalam nas al-Qur’an dan As-Sunnah, bahwa tujuan dari penetapan hukum tersebut ialah untuk merealisasikan kemaslahatan umat manusia. Dan manakala kemaslahatan menghendaki perturan, umat Islam wajib berusaha menyusun peraturan yang bisa merealisasikan kemaslahatan tersebut.
Atas dasar inilah, para mufti dari kalangan sahabat bersepakat untuk mengembalikan persoalan kepada sumber perundang-undangan yang tiga ini dengan mengikuti urutan-urutannya, sebagaimana yang sudah kita cantumkan di atas.
Para sahabat ketika menerima alquran dan Sunah, mereka tunduk mengamalkannya menurut teks ungkapan semata-mata, kecuali sahabat seperti Umar bin Khattab. Tercatat dalam banyak hal ia sering mengusulkan pendapatnya kepada Khalifah Abu Bakar untuk dijadikan sumber kebijakan, seperti upaya pengumpulan Alquran dan sebagainya; begitu pula pendapatnya hingga dibijaki sendiri melalui dewan musyawarah sahabat, atau kadang menggunakan kekuasaan otoriternya dalam kapasitas beliau sebagai khalifah; seperti kebijakannya mencabut hukum potong tangan pada musim krisis pangan, hukum harta rampasan dari hukum perdata hak milik prajurit menjadi milik negara atau membebankan hak bagi khalifah untuk menarik pajak di atasnya, Sehingga di samping hukum zakat ada hukum pajak, serta reinterpretasi hukum dalam pembagian zakat.[18]
Pada periode ini, metode dalam pembentukan dan pembinaan hukum, dilaksanakan dengan mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
1. Penelitian
2. Mencari informasi
3. Bermusyawarah atau diskusi
4. Mengistinbatkan hukum
Salah satu contoh penerapan metode-metode di atas, adalah apa yang pernah dipraktekan oleh Khalifah Abu Bakar, ketika beliau diminta kepastian hukum dari seorang nenek dari hal harta warisan yang ditinggalkan oleh cucunya.[19]
Sedangkan contoh lainnya adalah ijtihad yang dilakukan oleh Khalifah Umar r.a. dalam masalah pemberian zakat pada orang-orang muallaf (orang-orang yang perlu di bujuk hatinya). Padahal dalam alquran terdapat ketentuan tersebut yang termaktub dalam Surat at-Taubah (9): 60[20].
Dalam tindakanya tersebut Khalifah umar r.a. melihat pada illat diadakanya ketentuan tersebut. Sehingga ketika illat itu tidak ada maka ketentuan tersebut tidak di berlakukaanya.[21]Dengan demikian tidak mengherankan para ulama Ushul fiqh menggunakan madzhab sahabat sebagai sumber hukum. Karena dianggap sesuai dengan kondisi dan situasi di masa itu. Sehingga ada satu kaidah bahwa “Al-hukmu yaduru ma’al illat”, suatu hukum bergulir bersamaan dengan illat.
Walaupun apa yang dilakukan oleh Umar jelas-jelas tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh surat at-Taubah ayat 60, hal itu bukan berarti tindakan dia bertentangan dengan apa yang di titahkan oleh ayat tersebut, melainkan suatu tindakan yang sesuai dengan masa di mana pemberian zakat tersebut tidak di perlukan lagi. Karena alasan pemberian zakat kepada muallaf adalah untuk meluluhkan hati mereka di mana hal itu sangat di butuhkan sebelum islam menjadi kuat. Sedangkan pada masa Umar r.a umat islam sudah begitu kuat sehingga tujuan tersebut telah hilang. Ketika suatu alasan hukum itu telah hilang, maka hukum tersebut juga tidak di berlakukan.
Dinamika pemikiran para sahabat didorong oleh semakin luasnya daerah penyebaran Islam yang diikuti dengan munculnya berbagai permasalahan yang rujukan hukumnya belum ada secara jelas dalam alqur’an maupun hadis. Kondisi inilah yang mendorong para sahabat melakukan penafsiran hukum untuk menjelaskan persoalan hokum yang dihadapkan kepada mereka.[22]
Salah satu alasan perbedaan ini muncul karena berbedanya pendekatan orientasi yang digunakan sehingga terhadap suatu masalah dijelaskan makna hukumnya oleh seorang sahabat di suatu daerah akan berbeda pandangan sahabat lain di daerah lain. Oleh karena itu, pemikiran hukum dalam Islam sejak awal pembentukannya telah mengenal adanya perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha terutama pada masa sahabat sebagai cermin dinamisasi hukum yang merespon perubahan masyarakat. Perbedaan pemikiran hukum di masa sahabat berpengaruh besar terhadap ikhtilaf hukum kaum muslim pada perkembangan selanjutnya.[23]
Perbedaan fiqh di kalangan para sahabat berawal dari prosedur penetapan hukum untuk masalah-masalah baru yang belum terjadi di masa Rasulullah sedang kepastian hukumnya belum jelas baik dalam alqur’an maupun hadis. Para sahabat berbeda pendapat tentang otoritas (siapa yang berwenang) menafsirkan naskah jika ada masalah yang tidak dijelaskan dalam alqur’an atau hadis, Dari sini muncul dua pandangan:
1. Kelompok pertama diwakili oleh Ali bin Abi Thalib memandang bahwa otoritas untuk menetapakan hukum-hukum Tuhan dan menjelaskan makna-makna alqur’an setelah Rasulullah saw wafat dipegang oleh ahli Baith. Hanya merekalah yang menurut nash adalah yang berwenang menyelesaikan masalah-masalah dan menetapkan hukum-hukum Allah. Kelompok ini kemudian dikenal dengan sebutan Ahli al-Baith.[24]
2. Kelompok kedua diwakili oleh Umar bin Khattab yang berpendapat bahwa tidak ada orang tertentu yang ditunjuk oleh Rasul untuk menafsirkan dan menetapkan perintah Ilahi. Alqur’an dan hadis adalah sumber untuk menarik hukum berkenaan dengan masalah-masalah yang timbul di masyarakat. kelompok ini kemudian dikenal dengan ahli al-Ra’yi.[25]
Sifat berfikir para sahabat yang berkaitan dengan penafsiran nash sangat bervariasi bahkan cenderung menampilkan adu argument, seperti Umar bin Khattab pernah melarang haji tamattu, padahal seara tegas ditetapkan nash. Cara ini kemudian dilakukan pula oleh Usman bin Affan. Tetapi Ali secara demonstrative melakukannya di hadapan Usman. Kata Usman: “Aku melarang manusia melakukan tamattu’ dan engkau sendiri melakukannya”. Jawab Ali: “Aku tidak akan meninggalkan sunnah Rasul hanya karena pendapat seseorang”. Usman berkata; ‘Sesungguhnya laranganku itu hanya ra’yuku saja. siapa yang mau, boleh menjalankannya. Siapa yang tidak mau boleh meninggalkannya”.[26]
Sebab lain dari perbedaan pemahaman dikalangan para sahabat adalah yang berkaitan dengan sunnah. Para sahabat yang mengambil hadis Rasul dan meriwayatkannya berbeda-beda dalam kemampuan serta cara menerima riwayatnya rasul ditanya tentang suatu masalah, ia menghukum dengan hukum tertentu, memerintah atau melarang sesuatu, melakukan sesuatu yang hadir pada peristiwa itu, dan yang tidak mengetahuinya. Sebagian sahabat hadir pada suatu majelis Rasul, sebagian lainnya tidak hadir. Maka setiap orang hanya mengetahui apa yang ia saksikan dan sudah pasti tidak mengetahui apa yang tidak dihadirinya.[27]
Misalnya kasus tidak mandi junub walau bercampur dengan istri dan tidak keluar air. Seseorang datang kepada Umar ibn Khattab dan berkata: “Zaid ibn Tsabit berfatwa bahwa pertemuan dua khitan (tanpa keluar mani) sudah menjadi sebab lainnya kewajiban mandi junub,” kemudian Zaid bin Tsabit ditanya Umar. Zaid menjawab, “Aku tidak mengerjakan itu, tetapi aku mendengar hadis itu dari pamanku”. Hal itu ia tanyakan pula kepada Rifa’ah bin Rafi’, lalu Umar mengumpulkan kaum Anshar dan Muhajirin untuk bermusyawarah. Di antara sahabat berkata, “tidak ada di antara kami yang lebih mengetahui hal ini kecuali Nabi dan para istrinya. Kemudian Umar mengutus sahabat untuk bertanya kepada Hafsah. Hafsah tidak mengetahuinya. Kemudian diutus sahabat lain untuk bertanya kepada Aisyah, Aisyah menjawab, “jika dua khitan telah bertemu wajib keduanya mandi”.[28]
Sikap ijtihad para sahabat lebih mengacu kepada pertimbangan umum walaupun ada nash syar’i. Artinya jika syar’i ada yang bertentangan dengan kepentingan umum, maka tinggalkan nash syarah dan dahulukan kepentingan umum. Misalnya pendapat umar yang menafsirkan hukum karena perubahan zaman tentang jatuhnya talaq tiga dengan satu kalimat. Cara demikian dilakukan Nabi dan Abu Bakar berdasarkan riwayat yang sahih dari Ibnu Abbas. Pada masa Khalifah Umar, ia berpendapat “manusia terlalu terburu-buru di tempat yang seharusnya hati-hati”. Semua orang harus menahan diri untuk tidak mudah melanjutkan thalaq. Umar kemudian menetapkan hukum thalaq tiga dalam satu kalimat.[29]
Terakhir, pengaruh hukum yang paling terasa disebabkan oleh pengaruh politik yang ditinggalkan periode ini adalah pecahnya golongan politik karena urusan khalifah semata-mata yang lambat laun merembet pada soal agama (peristiwa tahkim) dan pada akhirnya umat Islam terpecah menjadi 3 golongan, yaitu Khawarij, Syi’ah dan Ahli Sunnah wal Jamaah.[30]
III. PENUTUP
Kesimpulan
1. Pemikiran hukum Islam di masa Nabi belum menampakkan corak pemahaman yang diakibatkan oleh perbedaan penafsiran, karena posisi Nabi selain sebagai bayan (pemberi penjelasan) juga sebagai penetap hukum atau masalah yang muncul. Sehingga kesimpulan hukum yang dihasilkan kurang bahkan tidak reaksi dalam masyarakat. Pada zaman Nabi, hukum-hukum atau penetapan-penettapan hukum itu masih belum mendapatkan bentuk tertentu. Hukum Islam pada waktu itu masih merupakan sesuatu yang lahir dari ucapan-ucapan Nabi yang nampak pada tindakan-tindakan Nabi. Beliaulah dan hanya dari beliau sendiri, baik yang berupa wahyu maupun yang berupa musyawarah dengan para sahabt-sahabat, dan dapat dianggap sah sesuatu penetapan hukum.
2. Pada periode Pemikiran Hukum Islam Masa Khulafaur Rasyidin, para faqih mulai berbenturan dengan adat, budaya dan tradisi yang terdapat pada masyarakat Islam kala itu. Ketika menemukan sebuah masalah, para faqih berusaha mencari jawabannya dari Al-Qur'an. Jika di Al-Qur'an tidak diketemukan dalil yang jelas, maka hadis menjadi sumber kedua . Dan jika tidak ada landasan yang jelas juga di Hadis maka para faqih ini melakukan ijtihad.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrauf Saimina, Iqbal. “Kontroversi di Sekitar Ijtihad Umar” Dalam Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1998.
Abu Thalib, Shufiy Hasan. Tathbiq al-Syari’at al-Islami>yat fi> al-Baladi al-Arabi>ah. Cairo : Da>r al Nahdah al-Arabi>ah, t.th.
ash-Shiddiqy, Hasbi. Pengantar Ilmu Fiqh. Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
al-Asqalany, Ibn Hajar Fath al-Bary. Beirut: Darul-fikr, t.th.
Bik, Hudhari. Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, alih bahasa Mohammad Zuhri. Indonesia: Darul Ikhya,t.t.
Hanafi, Ahmad. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Harjono, Anwar. Hukum Islam Keluasaan dan Keadilannya. Jakarta: Bulan Bintang, 1987.
Husen, Ibrahim. Sampai Di Mana Ijtihad Dapat Berperan. IAIN Gunung Jati Bandung, 15 Maret 1989.
Matdawam, Noor. Dinamika Hukum Islam. Yogjakarta: Bina Karier, 1985.
Mubarok, Jaih. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2000.
Qayyim, Ibn. I’ilam al-Muwaqi’in. Mesir: Mathba’ah Sa’adah, t.th.
S. Praja, Juhaya. Filsafat Hukum Islam. Bandung: Unisba, 1995.
Salam Madkur, Muhammad. Mana>hij Al Ijtiha al-Islam. Kuwait : Univ. Kuwait.
al-Sijistani, Abu Daud Sulaiman bin Asy’ats. Sunan Abu> Daud, Juz II. Kairo: Musthatfa al-ba>b al- Halabi, 1952
Suyuti, Gazali. Maslahat Mursalah dan Pengembangan Hukum Islam: Studi terhadap Metode Ijtihad Umar bin Khattab, Ar-Risalah. Tahun IV No 2/ November 2004.
Syalabi, Ahmad. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1983.
Al-Tirmidzi. Sunan al-Tirmidzi, Juz I . Beirut: Da>r-al-Fikr, 1967.
Wahab Khallaf, Abdul. Khula>s}ah Ta>rikh Tasyri’ al-Islami terj. Ahyar Aminuddin, Perkembangan Sejarah Hukum Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000.
al-Zuhayli, Wahbah. Ushûl al-Fiqh al-`Islâmî Vol. 1. Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001.
[1] Hudhari Bik, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, alih bahasa Mohammad Zuhri (Indonesia: Darul Ikhya,t.t), h. 4.
[2] Tasyri’ di kalangan para ahli hukum Islam digunakan dalam arti pembentukan garis-garis besar hukum Islam, pembentukan teori-teori hukum Islam. Oleh karena itu kata tasyri’ berarti pembentukan hukum Islam secara sistematis, pembentukan hukum-hukum teoritis dan hukum-hukum praktis. terbagi dua yaitu tasyri’ samawy (buatan Allah) dan tasyri’ wad’id (buatan manusia). Lihat Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam (Bandung: Unisba, 1995), h. 11.
[3] Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1983), h. 87-90.
[4] Q.S. Al-Baqarah (2): 219, Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". …
[5] Q.S. Al-Kafirun (109): 1-6. (1). Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, (2). Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. (3). Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah. (4). Dan Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, (5). Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah. (6). Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."
[6] Q.S. Al-Baqarah (2): 185. (beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.
[7] Q.S. Al-Maidah (5): 101-102. [101]. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. [102]. Sesungguhnya Telah ada segolongan manusia sebelum kamu menanyakan hal-hal yang serupa itu (kepada nabi mereka), Kemudian mereka tidak percaya kepadanya
[8] Muhammad Salam Madkur, Mana>hij Al Ijtiha al-Islam (Kuwait : Univ. Kuwait), h. 43.
[9] Abdul Wahab Khallaf, Khula>s}ah Ta>rikh Tasyri’ al-Islami terj. Ahyar Aminuddin, Perkembangan Sejarah Hukum Islam (Cet. I; Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), h. 11.
[10] Wahbah al-Zuhayli, Ushûl al-Fiqh al-`Islâmî (Vol. 1; Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001) , h. 624.
[11] Abu Daud Sulaiman bin Asy’ats al-Sijistani, Sunan Abu> Daud, Juz II (Cet. I; Kairo: Musthatfa al-ba>b al- Halabi, 1952), h. 272 lihat juga Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, Juz I (Beirut: Da>r-al-Fikr, 1967), h. 157.
[12] Abdul Wahab Khallaf, op cit., h. 14.
[13] Lihat, Shufiy Hasan Abu Thalib, Tathbiq al-Syari’at al-Islami>yat fi> al-Baladi al-Arabi>ah (Cairo : Da>r al Nahdah al-Arabi>ah, t.th.), h. 27.
[14] Gazali suyuti, Maslahat Mursalah dan Pengembangan Hukum Islam: Studi terhadap Metode Ijtihad Umar bin Khattab, Ar-Risalah, (Tahun IV No 2/ November 2004), h. 91
[15] Anwar Harjono, Hukum Islam Keluasaan dan Keadilanny, (Cet. II; Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h. 45
[16] Abdul Wahab Khallaf, op cit., h. 37.
[17] Ibid., h. 41-42.
[18] Ibrahim Husen, “Sampai Di Mana Ijtihad Dapat Berperan” (IAIN Gunung Jati Bandung, 15 Maret 1989).
[19] Noor Matdawam, Dinamika Hukum Islam (Yogjakarta: Bina Karier, 1985), h. 78.
[20] “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
[21] Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam (Cet. VI; Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 196.
[22] Ibid., h. 193-194.
[23] Hasbi ash-Shiddiqy, Pengantar Ilmu Fiqh (Jakarta; Bulan Bintang, 1976), h. 51
[24] Lihat Ibn Qayyim, I’ilam al-Muwaqi’in (Mesir: mathba’ah Sa’adah, t.th), h.225
[25] Ibid.,
[26] Ibid., h.177
[27] Lihat Ibn Hajar al-Asqalany, Fth al-Bary (Beirut; Darul-fikr, t.th), h.57
[28] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam (Cet.II; Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2000),h.45-46.
[29] Iqbal Abdurrauf Saimina (ed), “Kontroversi disekitar Ijtihad Umar” Dalam Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1998), h. 50
[30] Khawarij adalah orang-orang yang dendam atas Utsman, Ali dan Muawiyah seluruhnya; Syi’ah yakni orang-orang yang tetap mencintai Ali dan keluarganya; Ahli Sunnah wal Jamaah yaitu golongan yang tidak mengikuti pendirian golongan Khawarij dan tidak pula mengikuti pendirian golongan Syi’ah. Lihat Hudhari Bik, op cit., h. 244.