Orientalisme, sebuah kata asing yang sudah popular bahkan digandrungi oleh sebagian kalangan secara berlebihan sehingga mendudukannya sebagai primadona dalam metodologi pemikiran. Untuk mengetahui apa dan bagaimana sepak terjang mereka, secara singkat tulisan ini akan memaparkan seputar latar belakang dan motivasi kemunculannya serta sikap kaum muslimin yang seharusnya dalam menyikapinya.
Latar Belakang Kemunculannya
Sesuai dengan istilah yang digunakannya, orientalisme mengandung arti sebuah aliran yang mempelajari masalah-masalah ketimuran (Orient: timur; dan Isme: aliran). Dalam bahasa Edward W. Said adalah suatu cara untuk memahami dunia timur. (Edward W. Said dalam Orientalisme, 1985, hal. 1-2). Sementara para peneliti WAMY (World Assembly Moslems Youth) menyebutkan: gelombang pemikiran yang mencerminkan berbagai studi ketimuran yang islami. (Al-Mausû’at Al-Muyassarah Fil Adyan Wal Madzhahibil Mu’ashirah, 1993, hal. 15)
Terlepas dari perbedaan definisi, orientalisme mempunyai obyek studi yang jelas, mencakup peradaban, agama, seni, sastra, bahasa dan kebudayaan. Gelombang ini memberikan andil besar dalam membentuk persepsi Barat dalam menyudutkan Islam dan membeberkan kelemahannya dalam rangka pertarungan Timur dan Barat. Namun demikian, dunia Islam sendiri tidak boleh menafikan jasa-jasa baik mereka berupa sumbangan ilmiyah atas karya-karyanya, sekalipun madlaratnya tentu lebih besar dari mashlahatnya. Mengapa demikian? Jawabannya adalah karena latar belakang kemunculannya tidak lepas dari dendam kesumat Barat yang Nashrani untuk menghancurkan Negara-negara Timur yang Islam. Maka sangatlah wajar apabila para sejarawan menyebutkan kemunculan orientalisme bermula semenjak Perang Salib terjadi, sekalipun ada pendapat lain yang menyebutkan semenjak zaman Daulah Islamiyah di Andalusia.
Motivasi Kemunculannya
Dengan merujuk kepada beberapa sumber, para peneliti menyimpulkan sesungguhnya gerakan orientalisme memiliki motivasi antara lain:
- Motivasi Agama
Motivasi ini sebagaimana dijelaskan DR. Musthafa as-Syiba’i dalam bukunya Al-Isyraq wal Musytaraq, Ma Lahum Wa Mâ ‘Alaihim bahwa karya mereka banyak mendatangkan sikap-sikap yang sangat buruk dan keji terhadap Islam, diantaranya: meragukan kerasulan Muhammad saw. dengan berbagai penghinaan, mendatangkan keraguan terhadap al-Qur’an dengan anggapan al-Qur’an ketinggalan zaman dan sulit dimengerti, bacaannya menjemukan, tidak beraturan, melelahkan, tidak ada orang yang mau membacanya, demikian penuturan H.A.R. Gibb dalam bukunya Mohammadisme, bahkan dalam kesempatan lain diapun mempertanyakan dan menyangsikan apakah ajaran Islam layak disejajarkan dengan ajaran Yahudi dan Nashrani?. Ucapan ini sejalan dengan ucapan Philip K. Hitty dalam bukunya Dunia Arab yang menyebutkan Islam dan al-Qur’an cenderung lebih dekat kepada Judaismedalam perjanjian lama dari pada menjadi agama mandiri. Sumber lain menyebutkan, mereka mendatangkan keraguan terhadap hadits dan fiqih Islam sehingga memunculkan gerakan Inkarus Sunnah dengan tokohna Goldziher (Lihat Daud Rasyid, Pembaharuan Islam dan Orientalisme Dalam Sorotan, 1993, hal. 133).
Mereka memojokkan bahasa Arab dan menjauhkannya dari ilmu pengetahuan, sebagaimana Louis Massignan yang menganjurkan supaya bahasa Arab ditulis dengan huruf latin dan bahasa pasaran (‘ammiyah), mereka menuduh bahwa kebudayaan Islam merupakan adopsi dari Romawi dan Persia seperti diungkapkan Saledon Amous dimana Ernest Renan berkata: ‘Filsafat Islam adalah filsafat Yunani yang ditulis dengan huruf Arab’ (HM. Amin Djamaluddin, Bahaya Inkarus Sunnah, 1986).
Mereka pun melemahkan jiwa ukhuwwah Islamiyyah dengan mendorong berbagai pertentangan sehingga kaum muslimin semakin terdorong untuk mempopulerkan hadits-hadits palsu, diantaranya ‘Ikhtilafi Ummatî Rahmatun’; pertentangan diantara ummatku adalah rahmat.
- Motivasi Ekonomi dan Penjajahan
Dalam kepentingan ekonomi dan penjajahan, DR. Mahmud Hamdy Zaqzuq menguraikan dalam bukunya Al-Isytisyraq Wal Khalfiyyat al-Fikriyyat Lis Shirail Hadhari bahwa abad ke-19 dan 20 bangsa Barat sangat berambisi meluaskan perdagangannya sampai ke dunia Timur guna mendatangkan bahan baku bagi kepentingan industri mereka yang mengalami kemajuan pesat. Lawatan demi lawatan dilakukan, tujuannya untuk mengenal geografis, alam pertanian dan manusianya, sehingga lebih mudah melakukan penjajahan. Tahun 1830 M. Aljazair diserang Perancis dan mendudukinya di tahun 1857 M., sedangkan Tunisia dan Mesir jatuh pada tahun 1881 M. Adapun tahun 1898 M. secara politis Inggris mencaplok India. (Mahmud Hamdy Zaqzuq. 1984, hal. 32)
- Motivasi Politik
Pada dasarnya, semua motivasi kaum Orientalis merupakan politik, terlebih setelah kokohnya penjajahan Barat. Negara-negara Barat mengharuskan orang-orangnya mempelajari bahasa, tradisi dan agama negara-negara jajahan. Oleh karenanya, konfrensi gereja di Wina memutuskan untuk membuka jurusan Bahasa Arab di Universitas Cambridge dan baru terlaksana setelah tiga abad, kemudian menerbitkan majalah The Moslem World tahun 1911 yang dikomandani Samuel Zwimmer sebagai ketua Missionaris Timur Tengah. (Mahmud Hamdy Zarzuq, hal. 66)
- Motivasi Keilmuan
Sebagian kaum Orientalis, ada yang mengarahkan penelitiannya untuk pengetahuan semata, bahkan sampai kepada esensi Islam, misalnya Thomas W. Arnold yang menyusun buku The Preaching In Islam (Sejarah Dakwah Islam). Diantara isi bukunya adalah kekaguman terhadap Islam, terutama sikap toleran kaum muslimin dalam memperlakukan penduduk yang dikuasainya (Ali Abdul Halim Mahmud, Nahwal Buhuts al-Islamy, 1992, hal. 61).
Demikian pula munculnya karya-karya ilmiah yang sangat berbobot dan bermanfaat bagi khazanah Islamiyah lainnya seperti Sejarah Kesusasteraan Arabkarya orientalis Jerman Karl Broklman (wafat 1956 M.). Atas idzin penulisnya, serta rekomendasi Dirjen Kebudayaan Liga Arab, buku tersebut diterjemahkan oleh DR. Abdul Halim Najjar (1948 M.). Lalu Fu’ad Sizkin (Turki) murid Helmut Riter (Orientalis Jerman) menyempurnakannya dan menerjemahkan kembali dengan judul Tarikh al-Turats al-‘Araby. Karya ini telah menerima hadiah dari Raja Faishal. (Mahmud Hamdy Zaqzuq, hal. 62)
Karya lainnya adalah Ensiklopedia Islam yang dicetak dengan bahasa Inggris, Perancis dan Jerman tahun 1913-1938 M., lalu dicetak kembali pada tahun 1945-1977 M. dengan menggunakan bahasa Inggris dan Perancis saja. Berikutnya, mereka pun melahirkan buku-buku kamus (ma’ajim), diantaranya: Mu’jam ‘Arab Latin karya George Vilhelm (wafat 1861 M.), Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Qadimah karya Ogist Fisher (wafat 1949 M.), dan Mu’jam al-Mufahras Lialfazhil Hadîts as-Syarîf (Kamus Pencarian Kitab-kitab Hadist) yang disusun dari tahun 1936-1963 M.
Ummat Islam dan Orientalisme
Setelah memahami latar belakang dan motivasi kemunculan orientalisme, minimal ada dua sikap yang menjadi catatan bagi ummat Islam; menerima kegigihan semangat ilmiyyah mereka dan tetap waspada terhadap pendangkalan (tasykik) yang mereka jalankan.
Sikap yang kedua inilah yang harus mendapatkan perhatian maksimal, sehubungan hal ini menyinggung nilai-nilai esensi dalam Islam yang wajib diselamatkan, dikarenakan banyak Orientalis yang kehilangan rasa objektifitasnya. Mereka adalah A.J. Arberry, Alfred Geom, Barron Carrade Vaux, H.A.R. Gibb, Goldziher, John Maynard, S.M. Zwimmer, G. Van Grunbaun, Philip K. Hitty, Joseph Schacht, G. Margholiut, Stenbrink dan sejumlah Orientalis lainnya yang digolongkan sebagai Orientalis fanatik.
Benarlah apa yang disampaikan Syaikh Muhammad bin Sa’id bin Salim al-Qahthany dalam bukunya Al-Wala’ Wal Bara’ Fil Islam: “………Buku karya orientalis, senantiasa menimbulkan keraguan bagi orang-orang yang lemah imannya, didalamnya mengandung racun yang dipoles dengan madu……” (Al-Qahthany, 1402, hal. 406)
Demikianlah, mereka membuat makar, namun Allah ‘Azza wa Jalla lebih Maha Pandai dan Maha Mengetahui segala kelemahan mereka.